Belum lagi intimidasi dari oknum pemangku kepentingan di dalam negeri. Banyak oknum aparat keamanan memandang buruh migran sebagai obyek perasan yang optimal dan lahan empuk sasaran penipuan. Dengan iming-iming bisa mendapat gaji berkali-kali lipat dibanding pekerjaan di dalam negeri, mereka diharuskan membayar sejumlah Rupiah untuk dilayarkan menuju negara seberang.
Mediasi antara negara dan buruh migran belum mencapai titik aman dan nyaman. Akibatnya banyak warga negara yang memutuskan untuk menjadi TKI non-prosedural atau ilegal. Padahal seharusnya, sesuai dengan visi Presiden RI Joko Widodo, negara menjami buruh migran terlindungi di dalam negeri, tidak terlantar di luar negeri, dan tidak miskin saat kembali ke tanah air.
Kenyataannya, ada saja saat dimana pemerintah ‘kecolongan’. April 2015 lalu publik dikejutkan dengan eksekusi hukuman mati dua TKI di Arab Saudi yaitu Siti Zainab dan Karni. Keduanya didakwa bersalah atas menghilangkan nyawa majikannya. Pemerintah RI mengaku telah mengerahkan segala upaya untuk menghindarkan keduanya dari algojo pancung mulai dari upaya hukum, pendekatan diplomatik, hingga pendekatan kekeluargaan. Pemaafan dari keluarga korban (tanazul) sebagai syarat mutlak pembebasan mereka darihukuman mati urung didapat karena keluarga tidak bisa mengikhlaskan kejadian yang menghilangkan nyawa korban.
Belum lagi pada 9 Maret 2015 lalu Kementerian Luar Negeri, Bareskrim Polri, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), dan Kementerian Sosial menemukan bukti dugaan tindak pidana perdagangan orang di Persatuan Emirat Arab. Dari 104 TKI yang ditemukan di penampungan, terdapat 55 TKI terduga korban human trafficking.
Para korban mengaku ditipu sejak keberangkatan ke luar negeri dan telah mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari majikan. Sebagian TKI tersebut bahkan buta huruf. Mereka yang merupakan TKI non-prosedural berangkat ke Persatuan Emirat Arab melalui jalur Bandung-Batam-Singapura-Kuala Lumpur-Oman-PEA. Beragam permasalahan yang mereka alami diantaranya gaji yang tidak dibayarkan oleh majikan, kekerasan fisik, hingga eksploitasi.
Per September 2015, tahun ini ada 301 kasus human trafficking yang melibatkan imigran Indonesia. Sebanyak 138 diantaranya masih dalam proses penyelesaian. Kawasan Asia Timur, Tenggara, serta Timur Tengah merupakan lokasi dengan kasus terbesar di dunia.
Data Direktorat Perlindungan WNI dan BMI Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia juga mencatat 473 kasus WNI terancam hukuman mati di luar negeri sejak pertengahan 2011 hingga September 2015. Dari jumlah tersebut sebanyak 266 WNI telah menjalani kebebasan dakwaan, sedangkan 207 lainnya masih dalam proses penyelesaian hukum. Entah mengapa Malaysia dan Arab Saudi menjadi dua negara dengan kasus terbanyak dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Entahlah...
Lalu, adakah upaya pemerintah yang menampilkan keadilan bagi warga negara Indonesia di luar negeri?
Beberapa hari setelah eksekusi mati Siti Zainab dan Karni, seorang warga negara Arab Saudi yaitu Said Al Qahtani juga dieksekusi mati atas pembunuhan yang dilakukan kepada warga negara Indonesia bernama Kikim Komalasari pada tahun 2011. Ini mengindikasikan bahwa proses peradilan di Arab Saudi relatif tidak diskriminatif dan dapat dipertanggungjawabkan. Proses yang ditempuh oleh otoritas Saudi dalam eksekusi sudah sesuai dengan aturan yang berlaku di negara yang menerapkan syariah Islam tersebut.
Selain itu pemerintah mencatat pembebasan terdakwa kasus pembunuhan terhadap salah satu warga Arab Saudi yang dilakukan oleh Satinah, tenaga kerja asal Indonesia. Setelah tiga kal Presiden RI mengirimkan surat berisi permohonan pemaafan, Satinah dibebaskan dengan tanazul dari keluarga korban melalui mekanisme pembayaran denda atau diyat sebesar SR 7 juta.
Namun demikian Satinah tidak bisa begitu saja kembali ke Indonesia. Ia masih harus menjalani pross persidangan atas tuduhan mencuri uan sejumlah SR 37.970 atau setara Rp 119 juta. Putusan sidang tanggal 13 April 2015 di Pengadilan Umum Buraidah memutuskan dirinya divonis delapan tahun penjara.