Daerah daratan tinggi adalah tempat yang cocok untuk menanam sayur-sayuran. Di bawah kaki pegunungan yang menjulang tinggi, berjajar lahan-lahan syuran dan buah-buahan yang tumbuh subur. Suasana hijau dan segar terasa dari jalanan yang meliuk-liuk dan menanjak-nanjak.
Tak jarang pula terlihat mobil-mobil pick up yang mengangkut berkilo-kilo hasil kebun untuk dikirim ke pasar. Dan sebagian dari para petani itu ada yang masih menggunakan sepeda ontel untuk mengangkut hasil panennya ke pasar. Bahkan tidak jarang pula terlihat dokar-dokar yang di tarik kuda mengankut buah-buahan yang baru dipetik.
Salah satunya adalah Suparman, seorang petani sawi yang masih menggunakan sepeda ontel tua untuk pulang dan pergi meladang, juga mengangkut hasil buminya. Ia bukanlah petani yang memiliki ladang besar, hanya sepetak tanah yang ditanami sawi dan wortel, sedang di kanan-kiri ladangnya tumbuh subur perkebunan kol dan sayur-mayur lainnya.
Setiap pagi, ia pergi ke ladangnya dengan mendorong sepedanya, lantaran perkebunannya ada di atas, sedang rumahnya yang reot itu ada di bawah, barulah ketika siang hari, ia pulang dengan menaiki sepedanya, tanpa mengayuh. Mungkin karena itulah, sepeda peninggalan bapaknya itu masih awet sampai sekarang.
Dan di rumahnya, ia hanya hidup bersama Parjo, anaknya. Parjo pun masih SMP dan bersekolah di dekat rumahnya itu. Terkadang, ketika hari libur, Parjo membantu bapaknya ke kebun, juga ke pasar untuk menjual hasil panen.
Meskipun apa yang ditanamnya itu dihargai murah, bagi Suparman yang penting cukup untuk biaya hidup sehari-harinya. Ia sangat bahagia dan mensyukuri apa yang ia punya tanpa melihat orang lain yang di atasnya dalam segi kekayaan. Setiap hari pun ia selalu pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah.
Sampai pada hari itu, seperti biasanya, Suparman mendorong sepedanya ke ladang. Sesampai di ladangnya yang hanya berukuran tidak lebih lebar dari ladang tetangganya itu, Suparman bergegas menyiramkan pupuk dan air.Â
Tentu saja, ia berharap bisa panen masksimal nantinya. Dan ketika panen, seperti biasanya Suparman menyerahkan hasil panennya untuk dijual ke koprasi sebagian, sedang sebagian lainnya ia jual sendiri ke pasar. Entah mengapa ia tidak menjual semuanya ke koprasi, tetapi bapaknya dulu melakukan hal itu.
Hari mulai siang, matahari mulai naik di atas kepalanya. Suparman pun menghentikan pekerjaannya dan memilih istirahat terlebih dahulu di gubuk yang ia dirikan di ladangnya. Sambil menikmati kopinya yang sudah dingin, ia tersenyum ramah melihat jalanan yang ramai lalu-lalang mobil mewah. Mungkin ini saat liburan, sehingga banyak orang kota yang pergi berlibur, batinnya.
Di tengah istirahatnya itu, tiba-tiba sebuah mobil hitam sedan menepi di depan gubuknya. Tentu saja Suparman bingung, untuk apa mobil itu menepi? Padahal, kebunnya bukan tempat yang bagus untuk berfoto.
Tanpa beranjak dari tempat duduknya, turunlah seorang berpakaian rapi dan bersepatu mengkilat, menyusul kemudian dua orang yang juga berpakaian rapi, hanya saja tubuhnya lebih besar.Â
Orang itu pun melempar senyum ramah kepada Suparman yang masih terdiam dalam duduknya. Layaknya orang desa, Suparman membalas senyuman itu. Beserta dua orang lainnya, orang tadi duduk di sebelahnya dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Setelah keduanya duduk bersandingan, Suparman membuka pembicaraan.
"Sedang berlibur pak?! Mungkin bapak ingin berkunjung ke taman wisata di puncak sana, banyak orang ke sana karena katanya tempat pas untuk bersantai bersama keluarga."
"Oh tidak, saya sedang tidak ingin ke sana, saya pergi dari kota hanya ingin mencari ketenangan."
"Ketenangan? Justru banyak orang desa pergi ke kota untuk mencari ketenangan."
"Bagi saya, di desa lah orang hidup dengan tenang dan tentram, di kota itu bising, kalau di sini kan tenang."
"Tapi sedikit sekali orang kaya di desa ini, kalau bukan tuan tanah dan kepala desa, tidak mungkin hidup kaya pak!"
"Ah! bapak ini ada-ada saja, orang kaya bukan berarti bahagia."
"Tapi jadi orang miskin juga bingun pak! Apa yang harus dimakan untuk besok saja harus mikir dulu."
"Saya punya banyak mobil di rumah, rumah saya pun lebar, istri dan kelima anak saya tinggal di sana, begitu juga sopir dan pembantu saya."
"Wah! Enak itu pak, dengan seperti itu bapak bisa hidup tenang."
"Hah! Bapak salah, justru karena itu, saya bingung, rasanya harta yang saya miliki itu tidak membuat saya senang, malah buat saya ingin mencari yang lebih banyak dari itu semua."
"Seperti itulah sifat manusia, selalu ingin lebih dari apa yang diberikan tuhan kepadanya."
"Maka dari itu, saya pergi ke desa, melihat kehidupan orang desa yang sama sekali tidak mewah itu membuat saya bisa melihat ke bawah."
"Sederhana saja, bagi kami, untuk apa memikirkan untuk memiliki ini itu, yang terpenting bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari sudah cukup sekali."
Orang kaya itu lalu tersenyum mendengar jawaban Suparman. Setelah itu, ia pamit.
Dan dengan senyuman pula, Suparman melepas kepergiannya. Sedan hitam sudah berlalu. Ia pun meraih sepedanya, lalu pulang. Pada jalanan yang meliuk-liuk itu, ia mengingat pesan bapaknya kepadanya.Â
Waktu itu, di masa mudanya, Suparman berniat pergi ke kota bersama pemuda-pemuda desa lainnya. Tetapi, bapaknya tak rela melepasnya pergi. "cukup lah kau hidup di sini, tanah subur itu akan terus menghidupimu dan keluargamu kelak, belum tentu kau berhasil kalau mengadu nasib ke kota." Pesan itulah yang membuat Suparman urung untuk pergi dan memutuskan diri untuk menjadi petani saja.Â
Dengan begitu, kini ia hidup kaya raya. Bukan harta melainkan kaya hatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H