"Hah! Bapak salah, justru karena itu, saya bingung, rasanya harta yang saya miliki itu tidak membuat saya senang, malah buat saya ingin mencari yang lebih banyak dari itu semua."
"Seperti itulah sifat manusia, selalu ingin lebih dari apa yang diberikan tuhan kepadanya."
"Maka dari itu, saya pergi ke desa, melihat kehidupan orang desa yang sama sekali tidak mewah itu membuat saya bisa melihat ke bawah."
"Sederhana saja, bagi kami, untuk apa memikirkan untuk memiliki ini itu, yang terpenting bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari sudah cukup sekali."
Orang kaya itu lalu tersenyum mendengar jawaban Suparman. Setelah itu, ia pamit.
Dan dengan senyuman pula, Suparman melepas kepergiannya. Sedan hitam sudah berlalu. Ia pun meraih sepedanya, lalu pulang. Pada jalanan yang meliuk-liuk itu, ia mengingat pesan bapaknya kepadanya.Â
Waktu itu, di masa mudanya, Suparman berniat pergi ke kota bersama pemuda-pemuda desa lainnya. Tetapi, bapaknya tak rela melepasnya pergi. "cukup lah kau hidup di sini, tanah subur itu akan terus menghidupimu dan keluargamu kelak, belum tentu kau berhasil kalau mengadu nasib ke kota." Pesan itulah yang membuat Suparman urung untuk pergi dan memutuskan diri untuk menjadi petani saja.Â
Dengan begitu, kini ia hidup kaya raya. Bukan harta melainkan kaya hatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H