Menjelang pledoi dan vonis Jessica Sianida, tiba-tiba ada pihak lain yang ikut bicara.
Tak lain dari Hotman Paris Hutapea yang mendadak menyebar press rilis dan posting di halaman Facebooknya untuk menggugat alat bukti rekaman CCTV yang digunakan dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Padahal Hotman bukan tim pengacara Jessica. Tim Otto Hasibuan adalah tim pembela Jessica, yang bekerja secara gratis. Hotman Paris tidak termasuk tim Otto.
Press rilis Hotman itu menyebut alat bukti CCTV kasus Jessica termasuk informasi elektronik yang tidak sah sebagai alat bukti karena dibuat oleh Cafe Olivier, dan bukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) . Hotman mengaitkan pandangan ini dengan Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 yang membatalkan alat bukti penyadapan terhadap Setya Novanto yang dibuat oleh Maroef Sjamsoeddin.
Dengan langkah ini, Hotman sedang berupaya memanipulasi penafsiran terhadap dua konteks hukum yang berbeda. Harapannya jelas, jika manipulasi ini berhasil, Jessica bisa melenggang lolos dari tuntutan hukuman 20 tahun penjara atas dakwaan pembunuhan berencana yang dijatuhkan padanya.
Dalam persidangan, alat bukti harus diajukan Aparat Penegak Hukum (APH). Rekaman Maroef tidak dianggap valid oleh Kejaksaan, maka tidak diajukan sebagai alat bukti oleh Kejaksaan (APH). Di kasus Jessica, CCTV diakui sebagai alat bukti oleh Polri dan Kejaksaan (APH), maka diajukan sbg alat bukti dan sah.
Alat Bukti yang sah menurut KUHAP
Pasal 184 ayat (1) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) disebutkan bahwa hanya terdapat 5 (lima) alat bukti yang sah, yakni:
a. keterangan saksi
b. keterangan ahli
c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa.
Informasi elektronik yang direkam namun bersifat publik di antaranya adalah percakapan pengaduan layanan operator telekomunikasi yang direkam oleh operator, perekaman menggunakan perangkat CCTV pada pusat perbelanjaan dan jalan raya, perekaman suara/video dalam rangka kepentingan pemberitaan tertentu, dll.
Dokumen elektronik yang diajukan oleh Maroef jelas berbeda dengan dokumen elektronik rekaman CCTV dalam sidang Jessica.
UU ITE mengatur soal dokumen elektronik, di antaranya : Ranah Publik dan Ranah APH.
- Ranah Publik melarang Publik melakukan Penyadapan otonom. Sementara Maroef (publik) menyadap, maka yang dilakukannya adalah perbuatan yang melanggar hukum.
- Ranah APH mengatur salah satunya soal Penyadapan yang hanya boleh dilakukan oleh APH.
Barang bukti Maroef, tidak bisa dijadikan alat bukti karena 2 hal:
1) Penyadapan bukan atas permintaan APH (di luar kewenangan publik), sehingga MK putuskan Pemohon Menang.
2) maka APH, dalam hal ini Kejaksaan, tidak mengajukan Rekaman Maroef sebagai alat Bukti di Persidangan.
Berbeda dengan kasus Jessica, CCTV diakui sebagai alat bukti oleh Polri dan Kejaksaan (APH), maka diajukan sebagai alat bukti dan sah.
Mengacu pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Rekaman menggunakan kamera CCTV yang digunakan sebagai alat bukti di sidang Jessica dibuat oleh publik, yaitu pengelola Cafe Olivier. Termasuk salah satu dari lima alat bukti yang sah yaitu perekaman menggunakan perangkat CCTV pada pusat perbelanjaan dan jalan raya.
Hotman berupaya menyamakan kedudukan rekaman penyadapan yang dilakukan Maroef Sjamsoeddin yang direkam bukan di ruang publik dengan rekaman CCTV yang dipasang Cafe Olivier, di ruang publik.
Dua hal yang berbeda dan tidak bisa diperlakukan sama di dalam hukum. Sebuah upaya manipulasi.
Dalam Press Rilis resmi dari Advokat Lucas SH & Partners dalam menanggapi Press Rilis Hotman Paris, Lucas SH & Partners menyebut bahwa interpretasi Hotman Paris tidak benar.
Pasal 31 ayat (1) mengatur bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum DILARANG melakukan intersepsi atau penyadapan.
Penjelasan Pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa, ”Yang dimaksud dengan intersepsi/penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik YANG TIDAK BERSIFAT PUBLIK, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun haringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”
Dari penjelasan dan pemaparan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), jelas terbukti bahwa rekaman CCTV dalam kasus Jessica adalah sah karena rekaman tersebut merupakan dokumen elektronik yang bersifat publik yang tidak termasuk ke dalam Kategori Penyadapan.
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20_PUU_XIV_2016
Di dalam putusan tersebut dikatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum harus atas perintah penegak hukum.
Dalam pertimbangan putusan disebutkan, penyadapan merupakan perbuatan melawan hukum karena melanggar rights of privacy yang melanggar pasal 28J UUD 1945 (Pasal yang mengatur tentang privacy of rights).
Dalam Pasal tersebut disebutkan,
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dari ketentuan pasal tersebut dalam kaitannya dengan penyadapan yang di dalamnya termasuk perekaman hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang.
Putusan MK Nomor 20_PUU_XIV_2016 dan penjelasan Pasal 31 Ayat (1) UU No. 11 tahun 2008 tentang UU ITE harus dibaca secara menyeluruh. Agar jelas bahwa penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai alat bukti dibatasi penggunaannya sebagai alat bukti dalam suatu perkara jika perolehannya melanggar hak asasi dan privasi seseorang.
Dengan memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi ini, jelas terlihat bahwa rekaman CCTV bukan termasuk kategori penyadapan. Karena CCTV di Cafe Olivier adalah bersifat publik sehingga tidak melanggar hak privasi maupun hak asasi siapapun.
Jadi, alat-alat bukti yang diajukan di dalam sidang Jessica Sianida, termasuk rekaman CCTV Cafe Olivier berkedudukan sah secara hukum.
Apapun vonis yang diberikan oleh hakim kelak, ia telah melalui sebuah prosedur hukum yang benar. Maka bisa kita pastikan Mahkamah Konstitusi akan tetap tegak dan tak akan bubar seperti yang diinginkan Hotman Paris.
Inilah yang janggal. Tim pembela Jessica adalah tim yang dipimpin oleh Otto Hasibuan, dan Hotman Paris tidak termasuk di dalamnya. Sebenarnya ada kepentingan apa sih pengacara sekaliber Otto dan Hotman Paris setengah mati belain terdakwa pembunuhan berencana Jessica Wongso secara gratis?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H