"Tapi aku nggak berani kalau jalannya sepi," kata Lida dengan muka memelas. "Aku kan sendiri, nggak ada yang bonceng. Nanti kalau ditebengi makhluk nggak jelas gimana?"Â
Kami tahu maksud Lida. Cery mengusulkan Lida untuk jalan di tengah saja. Sementara Dina dan saya di depan untuk mereka ikuti. Semuapun setuju untuk meneruskan perjalanan malam itu juga.Â
Akan tetapi, waktu memasuki wilayah Gunung Kidul, tepatnya di daerah kebun jagung, kami yang semula nekat menjadi ragu-ragu. Bagaimana tidak, suasana sangat sepi dan gelap. Kiri dan kanan tidak ada rumah, hanya kebun jagung. Kendaraan juga tidak ada yang lewat selain kami.Â
Bahkan Dina, yang sehari-hari terlihat garang, memutar motor dengan sedikit tergesa. Saya yang duduk di belakangnya menangkap sinyak ketakutan.Â
"Balik..balik...! Putar..putar..!" katanya sambil membunyikan klakson bertubi-tubi.Â
"Kita istirahat di pom bensin aja, Nok. Tadi di kota ada yang kelihatannya bersih. Atau Aflamart," kata saya sambil menahan dingin.Â
Kami menemukan pom bensin di Purwantoro. Ika memesan wedhang jahe di angkringan dekat pintu keluar untuk kami berlima. Aku melepas penat di emperan mushola. Sedikit kecewa jika tujuan kami ke Pantai Siung tak pernah terlaksana.Â
Setelah rembugan baik-baik, kami sepakat untuk bermalam di pom bensin ini saja. Sebab, rasanya sudah terlalu capek untuk keliling lagi mencari penginapan. Lagipula,uang kami juga tidak banyak. Dina meminta ijin pada petugas, kami tidur di mushola. Untunglah petugasnya bermurah hati membiarkan kami menginap.Â
"Tadi aku lihat mbak-mbak di pinggir jalan, pas di kebun jagung. Tapi, mukanya pucet banget," bisik Dina yang berbaring di sebelah saya.Â
Kata-katanya itu membuat saya merinding. Saya memutuskan untuk segera tidur biar cepat-cepat bertemu pagi keesokan harinya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI