Saya rasa, setiap orang punya kenyololan masa muda yang patut dikenang. Begitu juga saya.Â
Di jaman kuliah dulu, saya punya teman kost yang hobi bertualang ke gunung dan pantai. Terang saja, Dina adalah anggota Mapala di kampus kami.Â
Suatu kali, tidak ada angin, tidak ada hujan, Dina mengajak kami pergi ke Pantai Siung yang terletak di Gunung Kidul, Yogyakarta. Perlu diketahui, kami tinggal di Solo. Butuh waktu sekitar lima jam untuk sampai ke tempat yang dimaksud dengan mengendarai sepeda motor. Buat anak mageran kayak saya, itu akan jadi perjalanan yang melelahkan.Â
Tapi, entah kenapa, saya, Lida, Ika dan Cery tidak bisa menolak ajakan Dina. Mungkin karena iming-iming suasana pantai yang masih alami dan sepi. Sudah lama juga kami tidak piknik.
Dengan ransel masing-masing di punggung, berangkatlah kami selepas salat dzuhur. Saya dibonceng Dina, sedang Cery dibonceng Ika. Lida mengendarai motor seorang diri.Â
Kami memang memilih lewat Wonogiri, alih-alih lewat Klaten dan Yogya. Menurut Dina rute itu lebih cepat.Â
Barangkali karena kurangnya persiapan, di perjalanan kami sempat beberapa kali nyasar dan dan motor Lida mengalami kebanan alias ban bocor. Alhasil, kami baru sampai di Purwantoro saat hari sudah magrib.Â
Saat itu turun hujan gerimis tipis-tipis. Kami menepikan motor di sebuah warung mie ayam. Sembari memesan mie ayam, bakso dan teh panas, aku dan Dina bertanya arah jalan menuju perbatasan Gunung Kidul-Wonogiri.Â
Mas Penjual tampak mengkhawatirkan kami. Dia bertanya kami  semua hendak ke mana malam-malam hujan begini. Kamipun berterus terang hendak nge-camp di Pantai Siung.
"Mbak mbok jangan diteruskan. Jalan ke sana sepi, lho. Takutnya ada apa-apa. Kalian cewek semua," ujar Mas Penjual sambil menghidangkan pesanan kami.Â
Sambil makan, kami berunding apakah sebaiknya meneruskan perjalanan atau pulang saja. Saya dan Dina enggan pulang karena merasa tanggung.Â
"Tapi aku nggak berani kalau jalannya sepi," kata Lida dengan muka memelas. "Aku kan sendiri, nggak ada yang bonceng. Nanti kalau ditebengi makhluk nggak jelas gimana?"Â
Kami tahu maksud Lida. Cery mengusulkan Lida untuk jalan di tengah saja. Sementara Dina dan saya di depan untuk mereka ikuti. Semuapun setuju untuk meneruskan perjalanan malam itu juga.Â
Akan tetapi, waktu memasuki wilayah Gunung Kidul, tepatnya di daerah kebun jagung, kami yang semula nekat menjadi ragu-ragu. Bagaimana tidak, suasana sangat sepi dan gelap. Kiri dan kanan tidak ada rumah, hanya kebun jagung. Kendaraan juga tidak ada yang lewat selain kami.Â
Bahkan Dina, yang sehari-hari terlihat garang, memutar motor dengan sedikit tergesa. Saya yang duduk di belakangnya menangkap sinyak ketakutan.Â
"Balik..balik...! Putar..putar..!" katanya sambil membunyikan klakson bertubi-tubi.Â
"Kita istirahat di pom bensin aja, Nok. Tadi di kota ada yang kelihatannya bersih. Atau Aflamart," kata saya sambil menahan dingin.Â
Kami menemukan pom bensin di Purwantoro. Ika memesan wedhang jahe di angkringan dekat pintu keluar untuk kami berlima. Aku melepas penat di emperan mushola. Sedikit kecewa jika tujuan kami ke Pantai Siung tak pernah terlaksana.Â
Setelah rembugan baik-baik, kami sepakat untuk bermalam di pom bensin ini saja. Sebab, rasanya sudah terlalu capek untuk keliling lagi mencari penginapan. Lagipula,uang kami juga tidak banyak. Dina meminta ijin pada petugas, kami tidur di mushola. Untunglah petugasnya bermurah hati membiarkan kami menginap.Â
"Tadi aku lihat mbak-mbak di pinggir jalan, pas di kebun jagung. Tapi, mukanya pucet banget," bisik Dina yang berbaring di sebelah saya.Â
Kata-katanya itu membuat saya merinding. Saya memutuskan untuk segera tidur biar cepat-cepat bertemu pagi keesokan harinya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H