Ibu saya mati kemarin sore dan hari ini saya menyiramkan kopi pada muka Pak RT. Wajah berkumis baplang seperti Burisrawa itu seketika serupa kepiting rebus. Barangkali lebih karena malu atau marah daripada menahan panas. Lagipula, sepertinya minuman itu sudah beranjak dingin.
Apapun yang keluar dari mulutnya kemudian hanya terdengar seperti kumur-kumur di telinga saya. Atau seperti dengung ribuan lebah. Tetapi, mata saya nyalang melihat laki-laki itu beranjak dari kursinya dan menunjuk-nunjuk pintu keluar.
Saya geming belaka. Seperti tak bisa menggerakkan badan. Tubuh saya seperti terkunci. Saya membeku seketika. Saya bahkan tak berkedip. Tidak saja keseluruhan tubuh luar saya, tetapi juga sepertinya hati saya. Sesuatu di dalam diri saya.
Meski demikian, sebagaimana saya bisa melihat Pak RT menuding-nuding, saya juga bisa merasa Bu RT tergopoh-gopoh masuk ruang tamu. Perempuan lencir itu memandang saya dengan tatapan bingung seolah saya ini adalah seonggok kemustahilan.
Mulut sepasang suami-istri itu membuka-menutup tanpa suara seperti film bisu. Mata mereka kadang melotot. Lalu, dengan satu lambaian tangan kesal Pak RT meninggalkan ruang tamu dan masuk ke ruang tengah.
Saat itulah saya mendapatkan pendengaran saya kembali. Saat itulah saya bisa merasakan tubuh saya lagi. Â
"Kenapa kamu siram muka Pak RT dengan kopi?"
"Karena hanya itu yang ada di meja."
Tadinya, saya tak berharap bisa bicara lagi. Toh saya sudah capek berkata-kata sejak Bapak moksa. Lelah berbusa-busa tapi tak didengar. Lelah disingkirkan.
Bu RT meletakkan kedua tangannya di pangkuan. Ujung daster pendeknya sedikit tersingkap memperlihatkan setitik tahi lalat di atas lutut kiri. Barangkali sadar saya melirik pahanya, perempuan itu lalu menurunkan kainnya. Â
"Pulanglah, Wangi. Ibu kamu baru saja mati. Kapan-kapan lagi saja kamu ke sini."