Mohon tunggu...
Linggar Kharisma
Linggar Kharisma Mohon Tunggu... Politisi - Political Scientist In Digital Creative Industry

Political Scientist

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Jawa Barat: Gagalnya Kaderisasi PKS

2 Januari 2018   16:01 Diperbarui: 3 Januari 2018   04:17 1413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sohibul Iman (Presiden PKS) / Sumber Foto: https://www.tirto.id

Gegap gempita Pilkada Jawa Barat yang sebentar lagi akan berlangsung, memang menarik untuk disimak. Selain karena lobi-lobi politik yang masih terlihat cair, spekulasi pengalihan dukungan masing-masing partai politik pun masih terus menghantui.

Sampai saat ini, setidaknya kita bisa mencatat ada tiga kubu koalisi, yang sejatinya, bisa dikatakan dapat menyusun komposisi dukungan yang berubah-ubah tergantung cuaca politik ke depan.

Kubu pertama yang menamakan dirinya sebagai koalisi reuni, terdiri dari gabungan partai Gerindra, PKS, dan PAN. Fusi kekuatan dari partai-partai pemenang kontestasi Pilkada DKI 2017 lalu ini, berusaha untuk mengulang kesuksesan mereka di ibu kota dengan mengusung pasangan Mayjen (Purn) Sudrajat - Ahmad Syaikhu.

Meski memang nama pasangan yang diusung ini terdengar cukup asing di telinga masyarakat Jawa Barat, namun bekal kemapanan pengalaman bertarung di DKI Jakarta itulah, yang memantapkan niat koalisi ini untuk tetap terus maju dalam proses hajatan demokrasi lima tahunan di Jawa Barat.

Kubu kedua, yakni koalisi sejajar. Hilangnya dukungan yang semula diberikan PKS dan PAN terhadap wakil gubernur petahana, Dedy Mizwar (Demiz), membuat partai Demokrat (sebagai partainya Demiz) segera menghimpun konsolidasi politik lanjutan. Melalui pertemuan yang singkat dengan partai Golkar, kesepakatan untuk mengusung pasangan duo DM pun tercapai.

Bersama dengan bupati Purwakarta dua periode, Dedi Mulyadi, Demokrat dan Golkar bersepakat menyatukan kedua kadernya itu untuk secara sah diusung menjadi calon gubernur dan wakil gubernur pada Pilkada Jawa Barat tahun ini. Meski hingga saat ini belum jelas juga, siapa nama di antara keduanya yang bakal diplot menjadi calon gubernur dan wakil gubernur.

Kubu ketiga, adalah gabungan partai politik di belakang nama wali kota Bandung saat ini, Ridwan Kamil. Emil, yang didukung oleh partai Nasdem, PKB, PPP, dan Hanura, merupakan bakal calon gubernur dengan elektabilitas tertinggi di sejumlah lembaga survei. Namun, keunggulan angka survei saja nyatanya belum bisa membuat jalannya terlihat mulus di Pilkada Jawa Barat kali ini.

Ancaman kegagalan melakukan konsolidasi politik terhadap partai-partai pendukung, dan juga partai lain yang belum menentukan sikapnya, merupakan risiko logis yang kelak akan ditanggung seorang Ridwan Kamil. Karena hingga saat ini pun, Emil masih belum bisa mendaulat secara pasti nama bakal calon pendampingnya.

Namun, berbagai dukungan yang dimotori ketiga kelompok koalisi tadi, sebenarnya belumlah bersifat final. Artinya masih berpeluang untuk berubah, jika kita melihat sikap politik yang masih belum diputuskan oleh PDI-P, sebagai partai dengan perolehan kursi terbanyak di tingkat provinsi.

Pilihan untuk masuk ke dalam salah satu kubu koalisi yang ada, dan atau bahkan menciptakan barisan dukungan baru terhadap tokoh lain di luar nama-nama tersebut, menjadi dua opsi yang kemungkinan terus dilihat probabilitasnya ke depan oleh PDI-P.

(Uraian mengenai kemungkinan arah dukungan PDI-P, sebelumnya sudah saya tulis di sini.)

Ironi PKS

Terlepas dari kemungkinan hadirnya tiga, dan atau mungkin saja empat kubu koalisi yang akan terbentuk, ada satu fakta politik yang luput untuk ditelaah lebih lanjut. Kenyataan bahwa PKS sebagai partai jawara dua periode di Jawa Barat (melalui kepemimpinan Ahmad Heryawan), yang hingga kini gagal mencalonkan kadernya untuk menjadi bakal calon gubernur, adalah salah satu bukti kegagalan proses kaderisasi partai.

Meski secara prestasi, kinerja 10 tahun kepemimpinan Ahmad Heryawan di Jawa Barat menuai banyak kesuksesan (lewat ratusan penghargaan yang diterima), namun secara politik, baik Ahmad Heryawan maupun PKS, tidaklah cukup berhasil membangun sebuah legasi politik di tanah Padjadjaran. Di situlah fungsi kaderisasi yang dijalankan selama dua periode, menjadi patut untuk dipertanyakan.

Adapun kisruh internal yang kini sedang melanda PKS, semenjak terpilihnya Sohibul Iman sebagai presiden partai, dan secara nyata banyak melakukan reformasi kepartaian, tidaklah bisa dijadikan pemakluman atas berbagai fenomena yang terjadi hari ini.

Sempat mencuatnya spekulasi pencalonan Netty Heryawan (istri dari Ahmad Heryawan) sebagai calon gubernur yang bakal diusung PKS beberapa waktu lalu, juga bisa menjadi pertanda adanya pertarungan kepentingan internal antara politik dinasti keluarga, yang berhadapan secara vis-a-vis, dengan politik kepentingan pimpinan partai.

Hal yang juga kian diperparah dengan peristiwa pencabutan dukungan PKS, terhadap Dedy Mizwar sebagai calon gubernur mendatang. Termasuk juga polemik penerbitan surat pakta integritas, yang kemudian menimbulkan berbagai friksi di kalangan kader PKS. Seperti ucapan simpatik oleh Fahri Hamzah, misalnya, yang secara tidak langsung mengindikasikan terjadinya pelecehan oleh pimpinan PKS, terhadap muruah partai beraliran dakwah tersebut.

Masalah-masalah internal semacam inilah yang nampaknya, membuat mesin politik PKS di Jawa Barat tidak berjalan cukup baik. Padahal, kalau kita melihat komposisi demografi yang ada, kelalaian dalam mengelola dukungan politik di wilayah seputaran Pasundan ini, jelas menjadi sebuah kerugian besar bagi PKS.

Potensi sebagai daerah dengan basis pemilih nasional (18%) dan muslim terbesar (97%), selayaknya dapat dijadikan modal penting PKS untuk meraup suara sebanyak-banyaknya menjelang hajatan akbar di 2019 mendatang.

Di tengah gejala konservatisme agama yang hari ini kian mewabah pun, geliat PKS untuk menggaet konstituen muslim belum terlihat mengambil peran yang vital.

Berbagai usaha dalam menyikapi ragam permasalahan politik keumatan juga, alih-alih terlihat menjadi salah satu pionir gerakan massa yang vokal menyuarakan kepentingan kelompok konservatif, PKS justru terkesan memberi garis demarkasi yang jelas antara kepentingan politik dan persoalan teologis. Jika ditinjau dari sisi pragmatisme politik, langkah yang ditempuh PKS ini jelas bukanlah sebuah pilihan menguntungkan.

Ketidakmampuan PKS dalam mengartikulasikan berbagai peluang itulah, yang pada akhirnya menjadikan bargaining position PKS sekarang ini, hanya berperan sebagai bemper politik partai Gerindra untuk mendulang suara saja. Padahal kalau ditilik dari jumlah dukungan suara dan militansi kader yang dimiliki, baik di tingkat nasional maupun daerah, PKS seharusnya bisa jauh melampaui berbagai ekspektasi itu.

Jadi, selama PKS belum bisa selesai dengan segala urusan rumah tangganya sendiri, modal 7-8% suara nasional yang berhasil didapat selama ini melalui pemilu, hanya akan menjadi rentetan angka yang berpotensi tergerus oleh volatilitas suara massa loyalnya sendiri. Atau juga secara posisi, hanya akan terus menjadi "ekor" yang setia mendampingi Gerindra di setiap kesempatan politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun