Mohon tunggu...
Linggar Kharisma
Linggar Kharisma Mohon Tunggu... Politisi - Political Scientist In Digital Creative Industry

Political Scientist

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja di Banda Neira: Dialog Imajiner Hatta & Iwa

18 November 2016   16:22 Diperbarui: 18 November 2016   17:14 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu, suasana begitu sejuk. Semilir angin yang berhebus, menyapu pepasiran di pinggir pantai yang warnanya putih. Dahan pohon kelapa yang bergelayut bimbang ke kanan dan ke kiri, melengkapi hangatnya pancaran mentari yang turun perlahan di ufuk timur.

Seperti biasa, selepas melaksanakan rutinitas spiritual kepada Sang Khalik, Hatta berjalan-jalan santai mengitari seputaran pulau kecil nan indah itu. Banda Neira, namanya. Di sinilah Bung berkacamata tebal ini, menghabiskan sisa masa pengasingannya.

Dari guritan hitam di atas putihnya, kelak kita mafhum bahwa Neira merupakan jawaban terindah atas berbagai peluhnya kisah Hatta selama di Digul. Tempat yang ia huni untuk menemani kejamnya sebuah proses pengasingan. Baginya, Neira adalah surga penuh kenikmatan tiada tara. Sungguh.

Banda Neira menawarkan kehangatan, yang menyelimuti dinginnya udara malam kawasan pesisir. Keramahan warga lokal, dan kearifan kultur masyarakat di sana pada penduduk asing, tentu membuat suasana tak seperti berada di sebuah kondisi pembuangan.

“Belanda itu dungu. Sunguhpun, Neira terlampau memesona untuk sekadar dijadikan tempat bagi pengasingan tahanan politik. Tak ada kepandiran di dunia ini yang sangat aku syukuri, selain ini..” pungkas Hatta, tatkala pertama kali menginjakkan kaki di Neira.

 **

Meski tanah Neira terlampau landai untuk dipijak, telapak kaki kecilnya mulai terasa keras. Maklum saja, Hatta tak terbiasa untuk memakai alas kaki saat menjelajahi pulau kecil itu pada sore hari.

Setelah cukup lama berjalan, sosok ini selalu menyempatkan dirinya untuk melepas lelah. Berteduh di bawah rindangnya pohon ketapang, di samping surau tak berpenghuni, sembari membuat beberapa catatan kecil, merupakan kegiatan lain yang selalu dilakukannya.

Kalau hendak dibedah, sudah barang tentu isi kepalanya berisi jutaan kata-kata dan pemikiran-pemikiran besar. Tiga belas kotak peti berisi buku yang ia bawa dari Batavia, menjadi pemantik bagi moncernya kecerdasan yang dimiliki seorang Hatta.

Ragam koleksi buku yang ia dapatkan selama kuliah di Leiden, dan beberapa negara lain di Eropa merupakan pusaka yang terus ia jaga kemana-mana. Tanpa buku, hidupnya hampa. Tanpa buku, ia tak bergairah. Tanpa buku, takkan lahir ide-ide briliannya dalam proses perjuangan kemerdekaan. Buku merupakan separuh jiwanya. Taka ada keraguan akan itu.

**

Lampu matahari yang mulai redup menyusuri perjalanan pulangnya. Hatta bergegas menuju rumah sewaan milik saudagar keturunan Arab. Cepatnya langkah kaki, kemudian dihentikan oleh dua tepukan lembut di bahu. Akal sehatnya menolak berhenti melangkah. Namun apa daya, tubuh kurusnya tak kuasa untuk menahan derap langkah kaki. Hatta terdiam, sejenak.

“Bung Hatta..” terdengar sautan dari belakang pundaknya.

Indra pendengarannya masih berfungsi cukup baik. Mengirimkan sinyal gelombang suara itu kepada sel otak, untuk kemudian memerintahkannya menoleh ke arah belakang.

“Ah.. Bung Iwa! Aku kira siapa..” sergah Hatta yang segera melihat sosok Iwa Kusuma Sumantri berdiri persis di balik tubuhnya.

Seraya membalikkan posisi badan, Hatta melempar senyum kecilnya. Seolah menyapa Iwa dengan hati yang riang.

“Kau hendak ke mana, bung?” tanya Iwa singkat.

“Begini.. sebenarnya aku hendak kembali ke rumah. Senja mulai hilang, tanda aku harus segera pulang.” ucap Hatta, menjawab pertanyaan Iwa.

“Ah janganlah buru-buru. Singgah sejenak di gubuk ku. Kita nikmati kopi bersama..” ajak Iwa kepada Hatta.

“Terima kasih, tawarannya, bung Iwa. Tapi aku harus segera…” belum tuntas Hatta menyelesaikan bicaranya, namun tubuhnya kadung ditarik Iwa untuk mengikuti jejak langkahnya menuju rumah.

“Ah.. Sudahlah, segera ikut aku..”

Raut gusar mulai nampak di wajahnya. Hatta tak bisa mengelak.

**

Tak lama berselang, sampailah keduanya di rumah Iwa. Terasnya cukup besar. Empat kursi kayu yang tersedia di depan, diperuntukkan khusus menyambut tamu yang hendak bertandang. Meja bulat berukuran sedang, menjadi pelengkap di antara tumbuhnya beberapa tanaman hias dalam vas.

Dua jendela kayu berukuran besar, menjadi pintu bagi masuknya hembusan udara khas pantai. Desain lampu bergaya Belanda, menempel erat di atas langit-langit teras.

“Duduk dan tunggu sebentar di sini, bung. Aku buatkan kopi sebentar..”

“Emmm… baiklah.” tukas Hatta.

Selagi menunggu kopi hitamnya jadi, pikiran liar Hatta mengawang jauh. Membayangkan bahwa sosok Iwa yang dahulu ia kenal, berbeda jauh dengan pribadi yang hari ini menyapanya.

Iwa yang dahulu Hatta kenal, adalah seorang mahasiswa yang tergila-gila dengan pemikiran kiri. Bersama Semaun, tokoh PKI, Iwa memang sempat menjalani hidup di Rusia. Bergaul dan bergumul dengan kelompok-kelompok dan pemikiran komunis, merupakan cerminan masa lalu seorang Iwa.

Sebagai pengusung sosio-demokrasi, Hatta memang tak setuju dengan ideologi komunis. Pernah suatu ketika, saat sedang berada di Jerman untuk vakansi, Hatta bertemu dengan Tan Malaka. Kesempatan untuk bertukar pikiran tak disia-siakannya.

Hatta berdebat sengit dengan Engku (sebutan di tanah Minang, bagi orang yang lebih tua) Tan Malaka, mengenai kemuskilan penerapan ide komunis. Bagi Hatta, komunis adalah cita-cita utopis. Sebuah prinsip yang tentu berlainan arah dengan keyakinan Tan, bahwa nilai-nilai komunis sama sekali tak berlawanan dengan pedoman Islam, sebagai sebuah ajaran teologi. Sehingga amat sangat mungkin untuk dianut, dan diterapkan.

**     

“Silakan diminum kopinya, bung.”

“Ah.. aku jadi tak enak. Merepotkan saja.”

“Tak usah sungkan. Anggap saja rumah sendiri.” ucap Iwa kepada Hatta.

Iwa memang senior Hatta. Baik di kampusnya, Leiden. Ataupun saat keduanya duduk pada organisasi yang sama, Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri kincir angin. Jalan ideologislah, yang kemudian membelah pemikiran keduanya. Iwa masyuk dengan paham komunisme, sedang Hatta memilih untuk bergelut pada konsep sosialisme-demokrasi.

“Senja yang syahdu ini, sayang untuk dilewatkan tanpa obrolan-obrolan ringan nampaknya..” tutur Iwa membuka perbincangan.

“Hahaha.. bung Iwa memang pandai beretorika. Topik apa yang sekiranya dapat kita bicarakan, bung?”

“Oiya, aku hampir lupa. Bung Sjahrir tak ikut dengan kau rupanya?” tanya Iwa kepada Hatta.

Sjahrir dan Hatta memang sempat tinggal pada rumah yang sama di Banda Neira ini. Namun karena karakter keduanya yang cukup berbeda, Sjahrir yang necis dengan selera seni tinggi, berkebalikan dengan sikap Hatta yang lebih menyukai ketenangan suasana, membuat keduanya sepakat untuk pisah rumah.

Anak-anak angkat Sjahrir, yang ia adopsi di Neira (Does, Des, Lili, dan Mimi) sempat membuat buku milik Hatta rusak. Akibat tertumpah segelas air. Sjahrir tahu betul, buku adalah barang berharga yang Hatta jaga dengan baik. Adapun kejadian itu membuat Sjahrir merasa tak enak hati. Untuk itulah keputusannya bulat untuk berpisah tempat tinggal dengan Hatta.

“Tidak, bung. Belakangan ini Sjahrir sibuk mengajari anak-anak angkatnya untuk membaca, menulis, dan berhitung. Kalau sore begini, biasanya mereka berenang bersama di pinggiran pantai.” seru Hatta menjawab pertanyaan Iwa.

Sejujurnya Hatta amat mengerti jiwa Sjahrir yang sejatinya tak suka dengan dunia politik. Dunia yang kemudian memaksanya untuk bergelut aktif. Mengajar anak-anak membaca, menulis, berhitung, kemudian berenang ke tepi pantai, hingga kegiatan naik bukit, merupakan rutinitas yang tak pernah luput dari kepribadian Sjahrir kala di Neira bersama anak-anak angkatnya.

Kenangan Hatta lainnya mengenai karakter adik ideologisnya, Sjahrir, yang tak suka politik juga terekam jelas saat menjalani keseharian sebagai mahasiswa di Leiden. Sjahrir yang gemar dengan pertunjukan parodi, lebih menghabiskan waktu kuliahnya di ruang-ruang teater, untuk sekadar berlatih drama, ataupun menonton opera sabun.

Bahkan dalam beberapa kesempatan, Hatta juga ingat bagaimana Sjahrir melakoni perannya sebagai seorang sutradara dalam sebuah pertunjukan drama.

**

“Bagaimana dengan kegiatan mu di sini, bung? Cukup menyenangkan, kah?” Hatta bertanya pada Iwa.

“Di sini aku menemukan kenyamanan, bung. Jauh dari hiruk-pikuk kota, dan situasi politik, membuat jiwa dan batin ku terasa tenang.”

Banda Neira memang berkesan di hati Iwa. Di sinilah dirinya menemukan kesempurnaan ajaran agama seutuhnya. Lewat ceramah rutin pemuka agama setempat, Syekh Abdullah bin Abdurakhman, sisi spiritualnya terasah dengan baik. Salat lima waktu, dan mengkaji kitab suci menjadi kegiatan rutinya menjalani masa pengasingan.

“Indahnya Neira ini pula yang menginspirasiku untuk menyelesaikan penulisan buku ini..” Iwa menunjukkan kepada Hatta, karya terbarunya. Sebuah buku berjudul Nabi Muhammad dan Empat Khalifah.

“Bagaimana dengan kau, bung?” Iwa bertanya balik pada Hatta.

“Hemm.. hampir tak jauh beda dengan kau, bung. Banda Neira ini memang melenakan. Menyejukkan pikiran dari gersangnya konstelasi perpolitikan kita sekarang ini.”

 **

Waktu berjalan cepat. Diskusi berlangsung hangat.

“Kondisi gersang seperti apa yang kau maksud, bung?”

“Begini, bung..” Hatta mengambil jeda untuk menuntaskan paparannya.

“Bagi ku, polarisasi politik yang terjadi pasca pemilihan Presiden ke-7 lalu, perlu dihentikan.”

Belum beres Hatta menjelaskan analisisnya, Iwa dengan segera memotong pembicaraan itu.

“Polarisasi politik?” “Maksudmu bagaimana?” tanya Iwa.

“Munculnya  faksi-faksi politik di tubuh rakyat, setelah proses pemilu dua tahun lalu, masih terasa hingga kini..”

“Ketidak berdayaan para pendukung politik masing-masing kubu, untuk bersatu dalam sebuah sistem kerja yang berjalan inheren dengan semangat dan cita-cita Republik, pada akhirnya menjalar kepada sikap politik masing-masing kelompok dalam memandang satu sama lainnya.”

Hatta belum terlihat ingin berhenti menjabarkan argumentasinya.

“Hal ini berakibat pada timbulnya polarisasi politik. Dua kelompok yang bertikai di Pemilu lalu, terus mereproduksi legasi pilihan politiknya, pada saluran-saluran kekuasaan yang lain. Konflik laten akibat pilihan politik ini, sungguh tak sehat di alam demokrasi modern kini..”

“Hahaha.. ini yang ku suka dari dirimu, bung. Daya analisis yang tajam terhadap sebuah fenomena, menjadikan argumentasimu kaya akan objektifitas. Hal yang langka dijumpai sekarang ini..” ucap Iwa menyambut paparan Hatta.

“Ah.. bung ini..” seloroh Hatta.

**

“Ku minum kopinya ya, bung?”

“Ya, silakan..”

Diskusi sore berjalan kian dinamis, setelah Hatta meminta komentar Iwa mengenai suhu politik belakangan ini.

“Pada prinsipnya, aku setuju dengan yang kau sampaikan.” Iwa menimpali analisis Hatta.

“Ku dengar, di Amerika sana pun terjadi hal yang serupa?”

“Oh.. Amerika ya?” Hatta coba berpikir sejenak.

“Betul, bung. Dari sejumlah kabar yang aku dapat, polarisasi politik seperti yang kini dialami bangsa ini, persis dengan yang terjadi di sana..”

“Akibat kekalahan calon Presiden dari partai berhaluan progresif-liberal itu, publik negeri Paman Sam, terbelah dalam dua kelompok. Kubu konservatif, sebagai pengusung ide-ide banal Presiden terpilih. Dan kubu moderat, yang menentang gagasan-gagasan konyol hasil kampanye kelompok lawannya..” ujar Iwa memaparkan argumentasinya.

 “Ah.. aku lega, kalau begitu..” tutur Hatta, sembari menghela nafas.

“Lega bagaimana maksudmu, bung?” tanya Iwa keheranan.

“Akhirnya, setelah sekian lama Republik ini tegak. Kondisi sosial-politik kita, hari ini bisa sejajar pula dengan negara adikuasa macam Amerika..”

“Hahahahaha..” ucapan Hatta disambut gelak tawa keduanya.

**

Kopi hitam yang kini tinggal setengah gelas itu, masih terasa panas. Terbawa hawa panasnya suasana obrolan dua tokoh bangsa yang saling bercengkrama.

“Apa yang aku lakukan dulu bersama Tan Malaka, di Persatuan Perjuangan, sejatinya hendak memperjuangkan penghapusan sekat persepsi yang hadir di antara rakyat.”

“Aku mafhum. Kau hendak mengambil jalan diplomasi, sebagai cara terbaik untuk berunding dengan Belanda. Tapi bagi ku, dan kawan-kawan lain di Persatuan Perjuangan, pilihan itu bukanlah cara terbaik. Kita kan sudah merdeka, dan tak ada lagi tawar menawar akan hal itu..”

Iwa terlihat antusias menyampaikan pandangannnya.

Hatta tersenyum kecil melihat Iwa yang begitu semangat menyampaikan gagasan.

“Tapi bukankah polarisasi ideologi di zaman itu, membuat distingsi sosial di kalangan rakyat, bung?” tanya Hatta pada Iwa.

“Ya kurang lebih begitu..” jawab Iwa singkat menanggapi pertanyaan Hatta.

Pasca proklamasi dan agresi susulan militer Belanda ke Indonesia, memang, terdapat dua faksi di antara tokoh-tokoh bangsa. Hatta, Sjahrir, dan Soekarno, lebih memilih jalur diplomasi sebagai cara terbaik menuntaskan konflik antara dua negara.

Namun cara itu ditolak secara tegas oleh Tan Malaka, Iwa Kusuma Sumantri, Amir Syarifuddin, hingga Jendral Soedirman. Bagi faksi ini, Indonesia yang telah merdeka secara sah, tak perlu lagi melakukan negosiasi dengan pihak Belanda. Tak ada kata kompromi, bagi Belanda yang telah menggugat kedaulatan sebuah bangsa merdeka.

“Tapi bagi ku. Adanya kesadaran akan kepentingan nasional yang jauh lebih besar lah, yang pada akhirnya menjadikan persatuan di antara kita terjalin dengan baik. Sesuatu yang sukar ku lihat pada kondisi bangsa sekarang ini..” tukas Hatta.

“Meski secara ideologi, aku bertentangan dengan bung Iwa, Engku Tan, dan kawan-kawan lain. Namun atas nama kepentingan bangsa, kita rela menanggalkan jubah ideologi tersebut.”

**

Pertentangan ideologi di era itu memang berlangsung sengit. Hal ini tak lepas dari pengaruh dua negara adidaya, Amerika, yang mengusung paham liberalisme. Serta Rusia, sebagai negara pensuplai ideologi komunisme.

“Aku dan kau, jelas berbeda.” pungkas Iwa kepada Hatta.

“Aku jelas percaya pada nafas komunisme yang selaras dengan Islam. Sedangkan kau, menganut ideologi sosialisme-demokrasi. Pertarungannya jelas. Ideologi. Coba kau lihat kondisi sekarang ini, bung?”

“Aktor-aktor politik yang ada, berjuang tanpa kredo ideologi yang jelas. Mereka hanya menuruti kepentingan pragmatisme politik..” Iwa melanjutkan penjabarannya pada Hatta.

 “Ah.. sudahlah, bung Iwa.” sahut Hatta.

“Terkadang aku sedih melihat kondisi tanah air kita sekarang. Defisit ketokohan dalam hal berpolitik, membuat kondisi semacam ini menjadi niscaya..”

“Tidak dapatkah mereka mengambil semua hikmah dari apa yang selama ini kita alami?” ucap Hatta lirih.

**

Matahari tenggelam. Kumandang azan di surau silang bersahutan. Kedua tokoh itu bergegas menunaikan panggilan Illahi.

Dalam do’anya, kedua tokoh bangsa ini bersimpuh pada Tuhan. Agar kelak Republik yang telah mereka perjuangkan dengan darah dan pengorbanan, menjadi Bangsa yang bermanfaat. Berfaedah bagi hajat sekumpulan rakyat.

Rakyat yang selalu dipanjatkan kepadanya lantunan pengharapan mulia. Meski kini, tak banyak yang ingat kehadiran Hatta dan Iwa, serta tokoh bangsa lainnya.

Ah.. hafal pun tidak, apalagi untuk sekadar mengucap balasan do’a atas jasa-jasanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun