Lampu matahari yang mulai redup menyusuri perjalanan pulangnya. Hatta bergegas menuju rumah sewaan milik saudagar keturunan Arab. Cepatnya langkah kaki, kemudian dihentikan oleh dua tepukan lembut di bahu. Akal sehatnya menolak berhenti melangkah. Namun apa daya, tubuh kurusnya tak kuasa untuk menahan derap langkah kaki. Hatta terdiam, sejenak.
“Bung Hatta..” terdengar sautan dari belakang pundaknya.
Indra pendengarannya masih berfungsi cukup baik. Mengirimkan sinyal gelombang suara itu kepada sel otak, untuk kemudian memerintahkannya menoleh ke arah belakang.
“Ah.. Bung Iwa! Aku kira siapa..” sergah Hatta yang segera melihat sosok Iwa Kusuma Sumantri berdiri persis di balik tubuhnya.
Seraya membalikkan posisi badan, Hatta melempar senyum kecilnya. Seolah menyapa Iwa dengan hati yang riang.
“Kau hendak ke mana, bung?” tanya Iwa singkat.
“Begini.. sebenarnya aku hendak kembali ke rumah. Senja mulai hilang, tanda aku harus segera pulang.” ucap Hatta, menjawab pertanyaan Iwa.
“Ah janganlah buru-buru. Singgah sejenak di gubuk ku. Kita nikmati kopi bersama..” ajak Iwa kepada Hatta.
“Terima kasih, tawarannya, bung Iwa. Tapi aku harus segera…” belum tuntas Hatta menyelesaikan bicaranya, namun tubuhnya kadung ditarik Iwa untuk mengikuti jejak langkahnya menuju rumah.
“Ah.. Sudahlah, segera ikut aku..”
Raut gusar mulai nampak di wajahnya. Hatta tak bisa mengelak.