Mohon tunggu...
LINES
LINES Mohon Tunggu... Relawan - LDII News Network

Menulis adalah cara untuk berbagi perspektif. Saling menghargai adalah kunci untuk bertukar perspektif

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menggemakan Konservasi Lingkungan dalam Rupa Histo-ecopedagogy ke Dalam Ruang Kelas

11 Agustus 2021   13:12 Diperbarui: 11 Agustus 2021   13:30 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: eduplanet21.com

Oleh Singgih Tri Sulistiyono*

Kegiatan konservasi dan pembangunan bisa sejalan, namun yang terjadi kerap berbenturan satu sama lain. Hal itu disebabkan, saat merencanakan pembangunan, manusia selalu memandang lurus ke depan mengabaikan realitas sosial berupa sejarah pada masa lalu. Inilah pentingnya histo-ekopedagogi (histo-ecopedagogy) dalam dunia pendidikan di Indonesia. Terutama yang terkait dengan pendidikan lingkungan hidup, baik yang berstatus sebagai muatan lokal maupun sebagai bagian inheren dari subjek ilmu-ilmu pengetahuan sosial baik di perguruan tinggi maupun di sekolah.

Semestinya jika pendidikan lingkungan hidup dijadikan sebagai bagian dari subjek dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), maka bidang ini menjadi sangat penting bagi siswa dalam konteks kepentingan bersama baik secara nasional maupun internasional. Melalui bidang IPS inilah, lembaga pendidikan formal memiliki kontribusi untuk mencetak calon warga masyarakat, warga negara, dan warga dunia yang baik dan kontributif untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama. 

Gagalnya pengajaran IPS dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), gejalanya bisa dirasakan bangsa ini, dengan adanya persoalan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), mafia hukum, tawuran pelajar dan antar kampung, narkoba, hingga bencana asap serta kerusakan lingkungan. Berbagai masalah itu, baik secara langsung maupun tidak langsung sangat terkait dengan kegagalan pembelajaran pada bidang IPS, sebagai subjek yang memiliki amanah untuk mencetak warga masyarakat, bangsa dan dunia yang baik dan kontributif untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama. 

Dalam situasi kalut seperti itu barangkali orang lebih menyalahkan pembelajaran bidang IPS daripada, misalnya, menyalahkan rumpun pelajaran matematika dan ilmu-ilmu alam. Jadi, jika suatu waktu NKRI hancur karena krisis kebangsaan dan krisis moral yang kemudian menjalar pada pada krisis yang lain, maka yang terutama dituduh adalah pembelajaran IPS yang gagal. Jika hal ini terjadi maka guru-guru bidang IPS akan merasa berdosa sepanjang hayat.

Kegagalan pembelajaran IPS di sekolah, jika hal itu betul-betul terjadi, tentu saja bukan terutama disebabkan oleh kekurangan jam pembelajaran ilmu pengetahuan sosial di sekolah. Namun persoalan itu lebih bersumber pada pendekatan dan perspektif pembelajaran IPS itu sendiri kepada para peserta didik. Selama ini pembelajaran subjek IPS, apalagi pembelajaran subjek-subjek yang lain, lebih banyak dilakukan secara konvensional. Dalam arti bahwa pembelajaran IPS, lebih banyak difungsikan agar para peserta didik dapat memahami fenomena sosial yang ada di sekitarnya, sehinggga bisa menjadi calon warga masyarakat, bangsa dan warga dunia yang baik dan kontributif untuk mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan bersama.

Persoalannya, hegemoni kapitalisme dan liberalisme telah menyusup jauh ke dalam segenap sendi kehidupan manusia di muka bumi, bahkan hingga ke ruang-ruang sekolah -- yang merupakan benteng akal budi. Kondisi itu, diasumsikan berakibat pada pembelajaran di sekolah hanya melanggengkan hegemoni dan dominasi kekuatan kapitalisme dan neoliberalisme dalam kehidupan masyarakat. Dominasi bisnis merekalah yang sesungguhnya menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang akut seperti yang dirasakan saat ini. Jika hal ini terjadi maka semakin lengkaplah hegemoni dan dominasi kapitalisme dan neoliberalisme dalam sendi-sendi masyrakat Indonesia hingga turun-temurun, mulai dari produk perundangan, yang sarat dengan kepentingan pemodal, promosi para pejabat yang merupakan hasil pertarungan dari para 'makelar' dan 'botoh', eksploitasi sumber daya alam yang lebih banyak mempertimbangkan keuntungan tanpa menghiraukan kelestarian lingkungan hidup dan kekayaan untuk anak-cucu serta keselamatan masyarakat lokal. 

Dari kesemuanya, yang juga tidak kalah membahayakan adalah kooptasi terhadap dunia pendidikan. Dengan menyusu jauh ke dalam dunia pendidikan, para generasi muda tanpa sadar bisa menerima dan mahfum terhadap existing condition dari lingkungan hidup mereka yang sudah terdominasi dan terhegemoni  kapitalisme dan liberalisme melalui materi ajar dan pendekatan dalam pembelajaran yang konvensional  dan hanya bersifat deskriptif -- naratif. Sepertinya tidak dapat dihindari bahwa mereka akan tercetak sebagai warga masyarakat yang menerima situasi sekarang ini, sebagai sesuatu yang bersifat 'given' seperti takdir. Bahkan subjek pendidikan lingkungan pun barangkali diajarkan secara konvensional, baik dari aspek materi ajar hingga paradigma pembelajarannya. Hasilnya jelas, kekacauan dan kerusakan lingkungan hidup masih terus berjalan, seolah-olah tidak pernah ada pendidikan lingkungan hidup.

Untuk memberikan bobot paradigma kritis terhadap subjek pembelajaran ekopedagogi atau pendidikan lingkungan, maka perlu mengembalikan subjek pendidikan lingkungan ini, ke dalam kerangka ekopedagogi sebagai bagian dari filsafat pedagogi kritis. Kedua, perlu menggunakan pendekatan historis dalam pembelajaran pendidikan lingkungan hidup yang barangkali bisa disebut sebagai histo-ekopedagogi (histo-ecopedagogy).

Dari Pendidikan Lingkungan Hidup ke Ecopedagogy

Barangkali banyak orang yang menyamakan persis antara pendidikan lingkungan hidup dengan ekopedagogi atau ecopedagogy diterjemahkan begitu saja menjadi pendidikan lingkungan hidup. Inilah yang sekiranya menjadi sumber paling mendasar mengenai kegagalan pendidikan lingkungan hidup di Indonesia. Dampaknya nyata 'di dalam mata', yaitu bencana asap yang membuat mata kita menjadi perih dan napas menjadi sesak, hutan yang makin rusak, eksploitasi tambang yang habis-habisan dan merusak lingkungan, lahan pertanian yang semakin menyempit, dan penguasaan sektor ekonomi strategis oleh perusahaan-perusahaan kapitalistik dan sebagainya yang membuat orang menjadi pesimis dan skeptis terhadap masa depan.

Dalam konteks ini, kita perlu mengembalikan "Pendidikan Lingkungan Hidup" kepada Eco-pedagogy sebagai sarana menciptakan kesadaran kritis, bagi generasi muda terhadap kehancuran lingkungan hidup. Dengan kesadaran itu, mereka terdorong untuk melakukan gerakan melawan anasir-anasir yang melakukan perusakan lingkungan. Oleh karena itu perlu sedikit mengingat genealogi ecopedagogy dalam konteks paradigma teori kritis.

 Salah satu paradigma penelitian di dalam ilmu-ilmu sosial adalah paradigma teori kritis. Secara umum paradigma teori kritis dalam ilmu sosial dapat didefinisikan sebagai suatu proses kritis untuk mendorong penyadaran orang agar memiliki kemampuan untuk "menghadapi" kondisi struktural yang mendominasi, menekan bahkan mengeksploitasi. Untuk itu, pendekatan teori kritis tampak jelas mempunyai komitmen yang tinggi pada terbangunnya tata kehidupan sosial yang setara (equal), berkeadilan dalam arti terbebas (misi pembebasan) dari suatu sistem yang  mendominasi/diskriminatif, represif dan eksploitatif. Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa ilmu sosial mestinya tidak hanya sekedar memberi pemahaman atas ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan distribusi resources, serta distribusi kesempatan tetapi seharusnya berusaha untuk ikut membantu menciptakan kesetaraan dan kemajuan (emansipasi) dalam kehidupan sosial masyarakat. Selain itu, paradigma teori kritis tampaknya juga memiliki keterikatan moral untuk mengkritik status quo dan membangun kehidupan sosial masyarakat yang lebih berkeadilan  Hal ini juga sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Jean Paul Sartre bahwa: "...the duty of the intellectual is to denounce injustices and abuses of power, and to fight for truth, justice, progress, and other universal values..."

Sementara itu muncul dan berkembangnya ecopedagogy merupakan ekspansi pengaruh pradigma teori kritis terhadap dunia ilmu pendidikan khususnya, yang terkait dengan pendidikan lingkungan hidup yang merupakan isu yang sangat strategis dalam konteks pembangunan. Pedagogi kritis ini dipelopori oleh Paulo Freire. Menurut Freire, misi ecopedagogy adalah untuk mengembangkan apresiasi yang kuat bagi potensi kolektif untuk menjadi manusia dan untuk mendorong keadilan sosial di seluruh dunia. Gerakan pendidikan lingkungan hidup kritis ini merupakan bagian dari visi politik ekologi, yang berorientasi pada masa depan yang secara radikal menentang globalisasi ideologi seperti neoliberalisme dan imperialisme. Selain itu gerakan ecopedagogy juga berusaha untuk mengembangkan ecoliteracy kritis (melek lingkungan).

Sebagai bentuk teori kritis pendidikan, ecopedagogy melakukan kritik terhadap praktik pendidikan lingkungan hidup dalam konteks apa yang disebut sebagai pembangunan berkelanjutan. embangunan model tersebut, sejatinya merupakan bentuk hegemoni wacana pendidikan lingkungan yang telah dibuat oleh lembaga negara, yang berusaha seolah-olah telah mengembangkan pendidikan lingkungan dalam rangka mengurangi krisis ekologi global. Padahal sesungguhnya pendidikan lingkungan semacam itu menjadi alat bagi kapitalisme untuk melakukan dominasi ekonomi, yang pada gilirannya akan merusak lingkungan hidup. Para penganjur ecopedagogy mengkritik pendidikan lingkungan hidup yang konvensional, yang mereduksi pendidikan lingkungan menjadi kegiatan pendidikan untuk mencari pengalaman belajar tertentu, dan menjadi pendidikan luar kelas (outdoor) yang memberikan kesenangan namun dilakukan dengan cara yang tidak kritis terhadap persoalan lingkungan.

Dengan demikian jika ecopedagogy diterjemahkan secara literer menjadi Pendidikan Lingkungan Hidup, tanpa disertai dengan paradigma kritis dalam pembelajarannya, maka Pendidikan Lingkungan Hidup hanya akan menjadi subjek yang diterima hanya pada ranah kognitif saja atau paling banter pada sikap untuk memahami sistem yang telah ada, sehingga siswa bisa menyesuaikan diri dengan suasana kapitalistik yang destruktif terhadap lingkungan. Subjek Pendidikan Lingkungan Hidup tidak mampu membangkitkan kesadaran kritis terhadap lingkungan hidup, untuk selanjutnya melawan setiap upaya perusakan terhadap lingkungan hidup. 

Sebenarnya pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup tidak hanya berusaha memahami lingkungan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sudah terkooptasi  oleh kekuatan kapitalisme, tetapi lebih dari itu. Pendidikan Lingkungan Hidup harus mampu membangkitkan kesadaran aktual terhadap lingkungan hidup untuk selanjutnya melawan setiap upaya perusakan lingkungan hidup. Siswa harus dibangkitkan kesadaran aktualnya, terhadap lingkungan yang ada atau yang sedang mengalami proses kehancuran.Serta dengan bekal kesadaran itu, para siswa tergugah bangkit untuk mengubah dan memperbaiki lingkungan, serta rela berjuang untuk melawan pihak-pihak yang merusak lingkungan.

Pembaharuan terhadap Pendidikan Lingkungan Hidup agar kembali menjadi ecopedagogy yang sejati, perlu dilakukan dalam beberapa aspek baik metode, model, dan pendekatan dalam proses pembelajaran dan lebih kritis dan persuasif, serta transformatif maupun dari aspek materi pembelajaran. Dari sisi materi pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup harus mampu menyajikan fakta-fakta aktual lingkungan mengenai kerusakan lingkungan hidup. 

Dalam hal ini kajian komparatif antara 'das sollen' dan 'das sein', yaitu antara kondisi ideal lingkungan dan kondisi riil yang ada sekarang ini. Dengan demikian peserta didik betul-betul memahami dan menyadari tentang kerusakan lingkungan hidup yang sedang dialami. Dengan materi ajar itu, mereka menjadi bersemangat untuk melakukan perubahan dan perbaikan lingkungan pada masa yang akan datang.

Warga Palangkaraya, Kalimantan Tengah, berjuang mematikan api di hutan di dekat perkampungan. Foto: Bay Ismoyo/AFP/Getty Images 
Warga Palangkaraya, Kalimantan Tengah, berjuang mematikan api di hutan di dekat perkampungan. Foto: Bay Ismoyo/AFP/Getty Images 

Histo-Ecopedagogy

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan bobot pembelajaran ekopedagogi, dalam rangka membangkitkan kesadaran kritis terhadap kerusakan lingkungan adalah menerapkan pendekatan historis. Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan dalam upaya untuk membangun histo-ecopedagogy. Pertama, perubahan dari sisi materi ajar atau substansi atau narasi.

Ada dua model substansi materi yang dapat dikembangkan dalam mengintroduksikan histo-ecopedagogy. Model pertama adalah memberikan materi latar belakang historis terhadap setiap materi yang diberikan di dalam Pendidikan Lingkungan Hidup, yang barangkali kurikulumnya telah ditentukan oleh pemerintah melalui dinas atau kementerian terkait. Dengan penempatan materi historis pada setiap pokok bahasan yang akan disajikan kepada siswa, diharapkan bisa menanamkan historical mindedness kepada para siswa. 

Historical mindedness berkaitan dengan kesadaran waktu (dan ruang) bahwa apa yang terjadi sekarang merupakan produk dari masa lampau. Emikian juga apa yang dilakukan sekarang, berarti, akan menentukan wajah di masa yang akan datang. Dengan demikian kerusakan lingkungan yang sekarag terjadi merupakan hasil atau akibat dari kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Apa yang mereka lakukan bisa dinarasikan dan dianalisis, sehingga generasi sekarang dan yang akan datang bisa menambah pengalaman yang akan bermanfaat untuk mencegah terulangnya peristiwa buruk pada masa lampau. Harapannya, mereka dapat membangun masa depan dengan lebih baik. Dengan demikian penggambaran narasi sejarah merupakan bentuk pertanggungjawaban kekinian terhadap masa lampau masyarakat.

Model kedua adalah berupa buku-buku hasil penelitian sejarah lingkungan, dijadikan materi ajar dalam mata kuliah tentang lingkungan hidup. Bahkan di universitas tertentu Pendidikan Lingkungan Hidup dijadikan sebagai Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yang wajib diambil oleh semua mahasiswa. Pemilihan materi atau substansi penelitian sejarah lingkungan hidup sebagai bagian dari histo-ecopedagogy sebetulnya tidak terlalu rigid. Unit studi dari histo-ecopedagogy adalah objek penelitian sejarah yang utamanya terkait dengan sejarah perusakan lingkungan hidup di suatu wilayah. Periode yang diambil bisa mencakup kurun tertentu ataupun mencakup periode yang panjang hingga masa kontemporer, ketika dampak perusakan lingkungan hidup tersebut masih bisa disaksikan secara langsung. Sebagai contoh adalah pembangunan real estate  mewah di pantai Semarang dan dampaknya terhadap problema rob di Semarang 1990 -- 2015. Sejarah tentang kebijakan Kota Semarang tentang fungsionalisasi sungai sejak zaman kolonial. Sejarah over fishing di Laut Jawa, sejarah marjinalisasi masyarakat garam di pantura Jawa, eksploitasi tambang batubara di Kalimantan Selatan, sejarah pengelolaan sampah di kota seribu sungai, sedimentasi pelabuhan sebagai dampak perusakan hutan di pedalaman, industri kapal dan perdagangan kayu, dan sebagainya. 

Pendek kata pemilihan tema penelitian histo-ecopedagogy diarahkan kepada tema-tema yang secara langsung memberikan pengetahuan dan merangsang sikap, serta perilaku yang kritis dan gejala perusakan lingkungan hidup serta memberi inspirasi kepada mereka, untuk bersikap cinta lingkungan hidup dan anti terhadap segala tindakan perusakan lingkungan hidup, serta mampu mendorong mereka untuk melakukan gerakan penyelamatan lingkungan hidup.

Selain sejarah kerusakan lingkungan, objek studi histo-ecopedagogy juga diarahkan kepada fenomena tentang sejarah Taman Laut Nasional Karimunjawa, sejarah wisata laut Raja Ampat dan lain-lain. Tema-tema tersebut diharapkan dapat memberi inspirasi kepada mahasiswa, bahwa pelestarian dan pengembangan potensi alam dapat memberikan banyak manfaat unutk kehidupan bersama. Jadi bagi histo-ecopedagogy, semua peristiwa sejarah (yang dipandang baik maupun buruk) dapat dijadikan sebagai objek kajian dan semuanya bisa memberikan manfaat aktual dan futural bagi kehidupan bersama. Ia dapat memberikan kesadaran tentang eksploitasi, penindasan, ketidakadilan, penghancuran, dominasi struktur, kemiskinan, dan sebagainya dalam konteks perusakan atau sebaliknya pelestarian lingkungan hidup.

Perspektif yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran histo-ecopedagogy adalah perspektif yang berbasis pada paradigm teori kritis, yaitu bahwa tugas ilmu sosial tidak hanya sekedar menjelaskan fenomena yang terjadi di dalam masyarakat.  Dalam hal ini pembelajaran sejarah, termasuk histo-ecopedagogy, dapat difungsikan sebagai gerakan pembebasan. Dalam hal ini pembelajaran sejarah tidak hanya sekedar berfungsi sebagai suatu transfer pengetahuan, pelipur lara, pengisi waktu luang, pemenuh curiousity, alat indoktrinasi, mempertahankan idenstitas, dan sebagainya. Akan tetapi juga mampu membangkitkan kesadaran terhadap masalah aktual yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia: kemiskinan, ketergantungan, ketidakadilan, penindasan, dan sebagainya. Kesadaran aktual itu pada gilirannya akan mendorong semangat masyarakat untuk melakukan langkah perbaikan yang bersifat futural demi mencapai cita-cita bersama sebagai komunitas bangsa, yaitu masyarakat yang makmur, berkeadilan, mandiri, bebas dari penindasan, berdasarkan Pancasila.

Pembelajaran sejarah sebagai sebuah gerakan pembebasan sebetulnya sudah disinyalkan oleh para filsuf terkenal mengenai pentingnya belajar sejarah sebagai upaya untuk memahami masa kini dan msa depan dalam rangka utnuk melakukan perubahan. Filsuf Collingwood pernh menyatakan: "knowing yourself means knowing what you can do; and since nobody knows what he can do until he tries, the only clue to what man can do is what man has done" (memahami diri anda sendiri berarti memahami apa yang dapat anda kerjakan; dan oleh karena tidak seorang pun tahu apa yang dapat ia kerjakan hingga ia mencobanya, maka satu-satunya kunci untuk mengetahui apa yang dapat ia kerjakan adalah apa yang telah dikerjakan oleh orang).

Keberhasilan menjaga lingkungan dari eksploitasi manusia menjadi materi ajar histo-ecopedagogy. Foto: Jordan Siemens/ Digital Vision/ Gett
Keberhasilan menjaga lingkungan dari eksploitasi manusia menjadi materi ajar histo-ecopedagogy. Foto: Jordan Siemens/ Digital Vision/ Gett

Dengan demikian, jika sebuah bangsa ingin tahu apa yang sebaiknya dikerjakan saat ini dan yang akan datang secara optimal, maka bangsa itu harus belajar dari apa yang telah dilakukan oleh para pendahulunya. Artinya, mereka harus belajar para pendahulunya.

Dengan pembelajaran sejarah, generasi muda orang tidak akan melakukan kesalahan yang sama sebagaimana pepatah mengatakan bahwa: "a donkey does not twice hurt itself  on the same stone" (seekor keledai tidak akan tersandung dua kali pada batu yang sama). Bahkan juga di dalam agama Islam, Allah Swt. memerintahkan orang Islam untuk belajar dari masa lampau dengan ungkapan seperti: Aroaytalladzii.... (adakah tidak melihat kamu sekalian...). Artinya orang Islam diperintah untuk melihat, bagaimana akibat jika orang mendustakan agama dengan cara menghardik anak yatim, tidak membantu orang miskin dan sebagainya (Al Qur'an Surat Al Maa'un: 1). Dalam banyak ayat Allah SWT, telah memerintahkan kepada manusia untuk belajar dari peristiwa lampau yang memberi pelajaran bagaimana orang yang berbuat aniaya akan memperoleh balasan yang setimpal.

 *Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum, adalah Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang dan Ketua DPP LDII. Tulisan ini dinukil dari makalah yang dipresentasikan pada Seminar "Aktualisasi Ecopedagogy dalam Pembelajaran IPS" yang diselenggarakan oleh Universitas Lambungmangkurat (Banjarmasin: 31 Oktober 2015).

Daftar Pustaka

"Ecopedagogy", dalam: https://en.wikipedia.org/wiki/Ecopedagogy  (Dikunjungi tanggal 25 Oktober 2015).

R. Morrow, Critical Theory and Methodology (Newbury Park, Calif: Sage, 1994.). 

Singgih Tri Sulistiyono,"Historiografi Pembebasan untuk Indonesia Baru", Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Dip0onegoro   (Semarang: 15 Maret 2008).

W.L. Neuman, Social Researh Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (Boston: Allyn & Bacon, 1994).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun