Media massa dan aktivis media sosial (Buzzer) menyesatkan masyarakat dengan framing seperti kekuatan demokratis versus tidak demokratis, pluralisme versus sektarianisme, atau pemilih rasional versus rasis.Â
Saling fitnah, misalnya Jokowi dan orangtuanya terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) atau tudingan penculikan para aktivis dan pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo dan pendukungnya merupakan kelompok anti-Pancasila dan anti NKRI, menciptakan ketegangan yang menjurus lahirnya tribal nationalism yang merupakan bagian dari nasionalisme sempit.
Potensi tribal nationalism itu muncul dalam frasa yang sudah akrab di telinga rakyat Indonesia seperti "NKRI harga mati" (Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah final, mutlak tidak dapat ditawar), sebuah mantra yang sering dilontarkan oleh rezim Orde Baru (1966-1998).Â
Frasa yang "disakralkan" itu untuk menindas ideologi yang bertentangan, masing-masing mengklaim nasionalisme versinya sendiri sambil menuduh orang lain membahayakan keutuhan negara.
Pertarungan wacana dengan menggunakan politik kecemasan, dalam dua kali Pilpres dimenangkan oleh Jokowi. Meskipun pada akhirnya kubu Prabowo dan Partai Gerindra berkoalisi dengan pemerintah dan Prabowo dipilih menjadi Menteri Pertahanan, namun kekecewaan dua kubu tak bisa hilang dengan mudah.Â
Suatu saat rasa kecewa, dendam, dan benci itu segera bangkit bila para kontestan masih menggunakan politik kecemasan dan identitas dalam merebut hati para pemilih.
Penulis adalah Ketua Departemen KIM DPP LDIIÂ Â
Daftar Pustaka
Haslam, Alexander, Reicher, Stephen D., Platow, Michael J, 2011. The New Psychology of Leadership: Identity, Influence, and Power. Psychology Press-Kanada.
Nasir, Sudirman (18 Juli 2012). "The thirst for positive 'deviant' leaders". The Jakarta Post.
Haboddin, M. (2012). Menguatnya Politik Identitas Di Ranah Lokal. Journal of Government and Politics, 3(1), 109--126.Â