Membangun Kekuasaan dengan Politik Komunikasi Populis
Politik adalah bagaimana cara meraih kekuasaan dan mendistrbusikan sumberdaya untuk meneguhkan kekuasaan yang telah diperoleh itu. Politik pada dasarnya ditujukan untuk keadilan sosial, bukan kepentingan kelompok tertentu yang pada akhrnya menciptakan oligopoli.Â
Pilpres 2014 dan 2019 merupakan contoh bagaimana politik identitas yang digunakan kelompok nasionalis dan agamis, untuk memperebutkan dan meneguhkan kekuasaan.
Dalam dua pemilihan presiden tersebut, politik identitas menekankan pemberian garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Karena garis-garis penentuan tersebut tampak tidak dapat diubah, maka status sebagai anggota bukan anggota dengan serta merta tampak bersifat permanen (Haboddin, 2012).Â
Kelompok nasionalis dan agamis, sama-sama menggunakan komunikasi populis, untuk menarik simpati masyarakat. Keduanya menggunakan komunikasi populis, yang menurut Hameleers (Feldman, Ofer & Zmerli, Sonja (ed), 2019) berangkat dari ide sentral berupa atribusi kesalahan atas masalah masyarakat kepada para elit dan kelompok di luar masyarakat (Hameleers et al., 2017a).Â
Definisi ini sejalan dengan konseptualisasi dalam mendefinisikan populisme sebagai konsep relasional, yang menandai kausal sentral dan batas moral antara orang-orang "baik" dan elit "korup", termasuk kelompok di luar masyarakat seperti imigran.
Dalam kasus Pilpres 2014 dan 2019, dua kelompok membuat labeling satu sama lain, yang berkelindan soal "kita baik" dan "mereka salah atau buruk" yang memecah belah ruang sosial ke dalam kantong-kantong politik identitas.Â
Kelompok agamis yang berkumpul dalam Persaudaraan Aksi 212, melabeli kubu Jokowi sebagai kafir, komunis, cebong, dan lain-lain. Sementara kelompok nasionalis menstigma mereka sebagai radikal, anti-Pancasila, kadal gurun (kadrun), kampret, hingga teroris (Lim, 2017).Â
Saat sekelompok orang dilabeli dengan sebutan bukan manusia, kekerasan bisa memuncak dan apapun bisa dilakukan untuk memberangus lawan mereka. Hal inilah yang menciptakan keretakan bangsa, dalam kasus Pilpres 2014 dan 2019, yang residunya masih dirasakan bangsa Indonesia hingga saat ini.
Para kandidat, baik kubu Jokowi dan Prabowo sama-sama menggunakan politik kecemasan. Kecemasan di sini bukan emosi primitif (croc brain) yang memunculkan perasaan takut atau khawatir dalam menghadapi pertarungan. Namun Kecemasan, menurut Edelman (Marcus & MacKuen, 2019) dalam ranah politik elektoral, kandidat dan partai mungkin marah, jijik, dan mengancam nilai dan keyakinan fundamental para pemilih.Â
Para aktor politik atau kandidat tidak menghadirkan bahaya fisik yang melibatkan respons naluriah yang berpusat pada otak reptil yang beroperasi terlepas dari kognisi. Sebaliknya, ancaman-ancaman ini membahayakan dunia simbolik, lingkungan nilai dan kepercayaan, dan berbagai hal yang berkaitan dengan politik massa kontemporer (Edelman, 2019).