Berkebalikan dari konsep karisma, kepemimpinan yang efektif melibatkan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi anggotanya, agar mereka berkontribusi dalam usaha pencapaian tujuan kelompok.Â
Salah satu aspek terpenting dari kepemimpinan, adalah adanya pengikut. Menurut Haslam (2011:2), psikologis antara pemimpin dan pengikut saling terikat. Para pengikut pada umumnya antusias terhadap perintah pemimpin mereka, bilamana sang pemimpin dipahami sebagai "salah satu dari kami".
Joko Widodo (Jokowi) dalam konteks politik nasional, merupakan contoh aktor politik yang mampu memanfaatkan realitas psikologis itu. Sejak menjabat sebagai wali kota Solo pada 2005, namanya mulai dikenal setelah dianggap berhasil mengubah wajah Kota Surakarta menjadi kota pariwisata, kota budaya, dan kota batik. Pada tanggal 20 September 2012, Jokowi berhasil memenangi Pilkada Jakarta 2012.Â
Kemenangannya dianggap mencerminkan dukungan populer untuk seorang pemimpin yang "muda" dan "bersih", meskipun umurnya sudah lebih dari 50 tahun (Sudirman:2012). Saat menjadi wali kota Solo dan pada awal menjabat Gubernu DKI Jakarta, ia mempopulerkan kembali kata"blusukan" yang sebenarnya sudah dilakukan para pemimpin zaman dahulu. Pakubuwono X misalnya, untuk mendukung kaum pergerakan nasional dan memperluas pengaruhnya sebagai raja Jawa, melakukan perjalanan inconigto.Â
Soeharto yang meskipun tampak berjarak dengan masyarakat dan memiliki wibawa yang sangat besar, ia juga melakukan praktik blusukan (Simorangkir & Pamungkas, 2017). Bedanya, para pemimpin nasional sebelum Jokowi melakukan praktik blusukan tanpa diikuti wartawan. Sementara Jokowi, diiringi para wartawan untuk mempublikasikan kegiatannya tersebut.
Jokowi dalam berbagai kegiatannya tersebut terekspos dengan baik, seperti masuk ke gorong-gorong, makan di Warung Tegal (Warteg), mengunjung korban banjir, bersalaman dengan masyarakat, berbagi hadiah sepeda, dan berbagai kegiatan yang mencerminkan pemimpin yang tak berjarak dengan rakyatnya.Â
Jokowi adalah bagian dari rakyat Indonesia yang sederhana, bersih, dan tegas serta tak memiliki hubungan dengan Orde Baru. Citra tersebut dipublikasikan secara luas, baik di media massa maupun media sosial dengan riuhnya. Blusukan ala Jokowi tersebut menarik simpati dan juga kesadaran bersama mengenai kehadiran pemimpin yang merakyat.Â
Pemberitaan yang gencar di media massa dan media sosial sepanjang 2005-2014, membuat citra Jokowi meresap dalam kognitif rakyat Indonesia yang menciptakan priming.
Priming menurut Iyengar (Iyengar & Simon, 1993) merupakan model jaringan memori yang diperkenalkan oleh disiplin ilmu psikologi. Menurut model ini, informasi disimpan di dalam memori sebagai node atau konsep. Node (konsep) terhubung satu sama lain melalui jalur asosiatif, dan memiliki keterkaitan antar node.Â
Saat node diaktifkan (misalnya, saat gambar dari cerobong asap pabrik ditampilkan, stimulus itu mengaktifkan konsep "pemanasan global" di kepala subjek), aktivasi tersebut dapat menyebar ke node terkait lainnya.
Dengan demikian, saat nama Jokowi disebut, kesadaran kolektif masyarakat akan menegaskan dia bagian dari kami, "Jokowi adalah Kita!". Itulah yang membuat Jokowi mampu memenangkan dua pemilihan Presiden 2014 dan 2019.Â