Oleh: Fathul Hamdani
The purpose of conviction should be given for utilization, when the conviction doesn't bring anything, it just means nothing. - Thomas Aquinas
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit). Pertama, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kemudian disisi lain berkenaan dengan kemanfaatan dan keadilan, maka pertanyaannya mampukah kepastian hukum itu juga akan menghasilkan kebermanfaatan dan keadilan.
Masyarakat disamping mengharapkan adanya kepastian hukum, namun juga mengharapkan adanya keadilan dan kebermanfaatan untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat masyarakat.
Maka sebisa mungkin dalam mewujudkan kepastian hukum, di dalam legalitas formil suatu ketentuan peraturan perundang-undangan juga mengakomodir keadilan dan kemanfaatan. Karena undang-undang tidak lain merupakan perumusan dari norma-norma hukum itu sendiri.
Di dalam system hukum yang dianut oleh Indonesia yakni system eropa continental, kemudian menghendaki bahwa setiap peraturan lebih menekankan pada aturan yang sifatnya tertulis yakni melalui peraturan perundang-undangan atau yang kita kenal dengan asas legalitas, sehingga upaya untuk mencapai kepastian hukum merupakan konsekuensi logis dari asas legalitas itu sendiri.
Dalam ajaran utilitarianisme yang dicetuskan oleh Jeremi Bentham, bahwa aturan kemudian dibuat untuk memelihara kebaikan dan mencegah setiap keburukan, demi tercapainya kebahagiaan bagi sebesar-besarnya orang. Dalam upaya untuk mencapai sebuah kebahagian bagi warga masyarakat maka aturan yang dibuat pun harus berdasar pada nilai-nilai yang berasal dari masyarakat itu sendiri.
Sebelum lebih jauh mengarah pada, apakah dalam menangani perilaku ujaran kebencian harus melalui pendekatan secara pidana atau tidak, maka kita harus menjawab terlebih dahulu apakah ujaran kebencian merupakan suatu kejahatan yakni suatu tindak pidana atau tidak?
Maka mari kita melihat unsur-unsurnya terlebih dahulu, kunci utama dari ujaran kebencian sebagaimana dimaksud dalam UU ITE sebenarnya mengacu pada pasal 156 KUHP. Dalam produk hukum yang dimaksudkan pada pasal 156 KUHP, yakni tindakan yang dianggap sebagai tindakan yang dapat menimbulkan rasa kebencian, permusuhan, penghinaan terhadap suatu golongan, memprovokasi, penistaan, dan pencemaran nama baik.
Kemudian dengan melihat beberapa unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana seperti:
- Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);
- Adanyaa maksud atau voornemen pada suatu percobaan seperti dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.
Maka jika kita melihat lebih jauh bagaimana unsur yang ada, apakah ujaran kebencian ini kemudian didasarkan atas kesengajaan atau tidak, dengan maksud dan tujuan seperti menimbulkan permusuhan, mencemarkan nama baik martabat dan kehormatan, penghinaan dan penistaan terhadap suatu golongan, maka dilihat dari unsurnya ujaran kebencian sudah terpenuhi sebagai suatu tindak pidana.
Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa dari sekian banyak  gagasan tentang strategi pemberantasan suatu tindak pidana, menunjukan bahwa pendekatan penal (pemberian pidana bagi pelaku kejahatan) masih menjadi pilihan banyak negara di dunia. Meskipun harus disadari bahwa pendekatan dengan sistem pemidanaan bukan strategi tunggal.
Karena pemberantasan tindak pidana tidak dapat dilakuakan secara parsial, akan tetapi harus dilakukan secara integratif, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arif, "pendekatan kebijakan," dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial, serta keterpaduan antara upaya penanggulangan secara penal (represive) dengan pendekatan non penal (preventif).
Berkenaan dengan pemidanaan bagi pelaku ujaran kebencian bahwa Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana merupakan cara yang sudah tua, setua peradaban manusia itu sendiri "older philosophy of crime control" (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984:149). Karena tindakan preventif adalah lebih baik dari pada tindakan kuratif atau refresif.
Dalam penanggulangan suatu tindak pidana dikenal adanya dua sistem yakni sistem penanggulangan yang bersifat simptomatc yakni hanya bersifat menaggulangi gejala, dan sistem penanggulangan yang bersifat causatic yakni penanggulangan berdasarkan penyebab dan akar terjadinya masalah.
Lalu pertanyaannya adalah, apakah pengenaan pidana bagi pelaku ujaran kebencian justru hanya bersifat menanggulangi gejalanya semata atau penyebabnya?
Pengenaan sanksi pidana didasarkan pada terbukti atau tidaknya seseorang tersebut apakah ia bersalah atau tidak di pengadilan. Artinya sanksi pidana hanya bersifat memberikan hukuman kepada seseorang yang sudah jelas dan terbukti bersalah dan telah melakukan ujaran kebencian. Sehingga dapat dikatakan bahwa sanksi pidana hanya bersifat menanggulangi gejalanya semata, yakni dampak yang diakibatkan.
Sementara akar penyebab mengapa orang melakukan suatu ujaran kebencian tidak dapat diselesaikan oleh sanksi pidana. Ibaratnya kita hanya sekedar memotong kuku yang kotor namun tidak berupaya untuk membersihkan dan menjaganya.
Dalam Teori Gabungan sebagaimana diungkapkan oleh Groritius bahwa penderitaan memang sesuatu yang sewajarnya ditanggung pelaku kejahatan, namun dalam batasan apa yang layak ditanggug pelaku tersebut, kemanfaatan sosial akan menetapkan berat ringannya derita yang layak dijatuhkan.
Melihat bahwa ujaran kebencian bukan termasuk salah satu pidana yang berat dan menghindari overkriminalisasi, maka penjatuhan pidana dapat dilakukan dengan memberikan sanksi lain selain hukuman pidana.Â
Karena berkaca pada Teori The educational effect (adanya pengaruh yang bersifat mendidik) seperti yang dikemukakan oleh Ricchard Smith "bahwa pendidikan lebih efektif untuk mencegah tindakan  kesalahan daripada penjatuahan Pidana". Artinya sanksi-sanksi yang lebih bersifat mendidik lah yang harus diutamakan dalam konteks ini.
Eksistensi hukum bertujuan untuk memberikan keamanan dan ketertiban serta menjamin adanya kesejahteraan yang di peroleh masyarakat dari Negara sebagai payung bermasyarakat. Artinya adalah adanya hukum adalah untuk mengakomodir rasa aman di dalam bermasyarakat serta memberikan manfaat yang baik.
Maka yang perlu di garis bawahi adalah apakah pemidanaan adalah solusi yang tepat, berkaitan dengan pelaku ujaran kebencian, apabila kemudian tindakan tersebut tidak dilakukan oleh satu orang saja, namun juga disebarkan oleh ratusan bahkan ribuan orang, lalu siapakah yang dapat dikatakan sebagai pelakunya, apakah orang pertama, atau semua orang yang melakukan penyebaran? Sehingga ketika semua orang yang turut serta menyebarkan ujaran kebencian harus di pidana maka hal ini akan menimbulkan overkriminalisasi.Â
Hal tersebutlah yang kemudian harus menjadi perhatian. Dalam teori kemanfaatan, bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memberikan manfaat untuk masyarakat, ketika pemidanaan tersebut tidak memberikan manfaat maka pemidanaan tersebut  tidak memiliki arti sama sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H