Puspa memalingkan wajahnya, bibirnya tidak henti-hentinya membantah ucapan Bu Saenah yang sedang memberikan nasihat.Â
"Saya tidak mau sekolah lagi. Biar jadi anak putus sekolah. "
Bu Saenah menatap iba. Punggung anak didiknya diusap beberapa kali. "Ibu mengerti kamu sedang ada masalah keluarga. Namun jangan sampai mengganggu sekolahmu."
"Tapi buat apa? Mereka  sudah tidak  peduli aku mau berangkat ke sekolah atau tidak. Setiap hari bertengkar, rasanya ingin pergi jauh dari kehidupan mereka. "
Sebagai wali kelas, Bu Saenah tahu permasalahan yang dihadapi siswa di kelas yang diberikan amanah kepadanya.Â
Gadis remaja bertampang manis sedang menahan emosi. Â Wajahnya memerah, tangannya dilipat di dada.Â
Satu bulan belakangan ini Puspa tidak seceria anak-anak lain. Nilai mata pelajarannya pun anjlok. Padahal Puspa termasuk anak yang cerdas.Â
Bu Saenah tidak akan pernah membiarkan Puspa berhenti sekolah. Berbagai upaya dilakukan agar tidak putus di tengah jalan.Â
"Setiap orang punya masalah. Ibu pun punya. Jangan lari dari masalah. Kita hadapi dan jalani sambil berdoa memohon pertolonganNya. "
Tidak sekedar kalimat belaka. Besoknya pagi-pagi sekitar jam 06.30 Bu Saenah sudah di depan rumah Puspa. Tidak sampai lima menit Puspa membuka pintu, baju piyama masih dipakainya.Â
"Ibu jadi jemput? Dikira nggak jadi."
Senyum tulus tersemat di wajah Bu Saenah. "karena Ibu sudah menjemput, ayo ganti pakai seragam."
Tanpa menjawab Puspa kembali masuk ke dalam rumah.Â
Motor melaju membawa dua orang berbeda generasi melewati jalan perkampungan yang lumayan panjang.Â
Seratus meter sebelum gerbang sekolah Bu Saenah menghentikan motornya untuk membeli nasi kuning. Jumlahnya dua bungkus.
Sejak saat itu Bu Saenah hampir setiap hari menjemput Puspa. Lama kelamaan gadis berusia empat belas tahun itu merasa tidak enak lalu meminta Bu Saenah agar tidak menjemputnya.Â
Bu Saenah menerima alasan Puspa asalkan tetap masuk sekolah. Tidak ada alasan bolos karena masalah keluarga.Â
Puspa berjanji akan tetap sekolah. Masalah orang tuanya sudah selesai. Keduanya memilih jalan masing-masing. Puspa memilih ikut ayahnya. Tidak dipungkiri hubungan dengan ibunya tidak berjalan baik.Â
Selain menonjol dalam akademis, Puspa mempunyai bakat menyanyi yang diturunkan dari kakeknya. Bu Saenah juga yang melatih vokal sehingga menang beberapa kali dalam perlombaan menyanyi.Â
Prestasi dalam vokal dan nilai tertinggi yang diraih meloloskannya meraih beasiswa ke tingkat sekolah menengah kejuruan bidang seni. Setelah lulus Puspa memilih melanjutkan ke perguruan tinggi jurusan pendidikan seni musik.Â
***
Bel berbunyi menandakan waktu istirahat telah selesai. Siswa dan siswi SMP Bina Muda beriringan masuk ke dalam kelas. Sebagian hilir mudik di halaman dan lapang sekolah. Bahkan tidak sedikit masih di kantin, seolah-olah tidak peduli dengan bunyi bel yang memberitahukan kegiatan belajar segera dimulai.Â
Guru piket berbicara lewat mikrofon agar semua siswa masuk ke dalam kelas. Toleransi waktu lima menit telah habis, siswa masih berkeliaran di luar kelasnya. Terpaksa guru piket menghampiri dan menegur secara langsung.Â
"Ayo masuk ke kelas. Waktu istirahat sudah habis. "
"Tanggung, Bu. Ini lagi habisin makanan. " Siswa bertubuh gempal menjawab.Â
"Kita tinggalin aja si Monti. Yuk kita ke kelas," ajak siswa berpostur jangkung.
"Tapi aku mau salim dulu sama Bu Puspa. " Siswa bertubuh kecil mendekati guru piket, mengulurkan tangannya.
Siswa itu setengah berlari masuk ke kelasnya, diikuti kedua temannya. Puspa meringis, antara sakit dan gatal. Punggung tangannya ditusuk kuku panjang.Â
"Bu Puspa pulangnya kalau tidak ada acara, kita main ke mal baru. " Seseorang mencolek tangan dari belakang.Â
Puspa membalikkan tubuhnya, "Maaf Bu Anung. Kebetulan pulangnya, saya sedang ada keperluan. "
Jam menunjukkan pukul 02.00, sekolah sudah mulai sepi. Â Motor yang dikendarai Puspa keluar dari pintu gerbang.Â
Jalan perkampungan yang ditempuh tiga puluh menit. Sebuah rumah sederhana tapi asri bukanlah yang pertama dikunjunginya. Setelah mengucapkan salam, Puspa masuk ke dalam rumah yang tampak sepi seperti tidak berpenghuni.Â
Tanpa ragu Puspa masuk ke dalam kamar. Seseorang sedang berbaring lemah, tetapi senyumnya tidak pernah hilang di pelupuk mata begitu juga kebaikannya yang sampai sekarang sangat membekas.Â
Puspa memeluk tubuh lemah itu, tidak terasa air matanya menetes membasahi pipinya.Â
"Bu Saenah, maafkan Puspa terlambat datang ke rumah Ibu. Tadi tugas piket, baru selesai jam dua. "
Tanpa mengucapkan kata Bu Saenah mengangguk, senyumnya selalu terbingkai di bibirnya walaupun harus menahan sakit.Â
Wajahnya selalu ceria, tidak pernah menunjukkan rasa sakit. Hal itu yang membuat Puspa mempunyai motivasi kuat untuk menjalani hidup sampai sekarang ini mengikuti jejaknya Bu Saenah menjadi seorang guru atau pendidik.Â
Kata terima kasih tidak cukup untuk diucapkan kepada pahlawan tanpa jasa itu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H