Puspa memalingkan wajahnya, bibirnya tidak henti-hentinya membantah ucapan Bu Saenah yang sedang memberikan nasihat.Â
"Saya tidak mau sekolah lagi. Biar jadi anak putus sekolah. "
Bu Saenah menatap iba. Punggung anak didiknya diusap beberapa kali. "Ibu mengerti kamu sedang ada masalah keluarga. Namun jangan sampai mengganggu sekolahmu."
"Tapi buat apa? Mereka  sudah tidak  peduli aku mau berangkat ke sekolah atau tidak. Setiap hari bertengkar, rasanya ingin pergi jauh dari kehidupan mereka. "
Sebagai wali kelas, Bu Saenah tahu permasalahan yang dihadapi siswa di kelas yang diberikan amanah kepadanya.Â
Gadis remaja bertampang manis sedang menahan emosi. Â Wajahnya memerah, tangannya dilipat di dada.Â
Satu bulan belakangan ini Puspa tidak seceria anak-anak lain. Nilai mata pelajarannya pun anjlok. Padahal Puspa termasuk anak yang cerdas.Â
Bu Saenah tidak akan pernah membiarkan Puspa berhenti sekolah. Berbagai upaya dilakukan agar tidak putus di tengah jalan.Â
"Setiap orang punya masalah. Ibu pun punya. Jangan lari dari masalah. Kita hadapi dan jalani sambil berdoa memohon pertolonganNya. "
Tidak sekedar kalimat belaka. Besoknya pagi-pagi sekitar jam 06.30 Bu Saenah sudah di depan rumah Puspa. Tidak sampai lima menit Puspa membuka pintu, baju piyama masih dipakainya.Â
"Ibu jadi jemput? Dikira nggak jadi."