Mohon tunggu...
Linda Erlina
Linda Erlina Mohon Tunggu... Dosen - Blogger and Academician

Seorang yang suka menonton film apa saja apalagi yang antimainstrim.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Mengenal Puan Hayati dan Perjuangan Masyarakat Tionghoa Melalui Film di Festival Kebhinekaan 7

2 Maret 2024   10:29 Diperbarui: 2 Maret 2024   10:42 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ini dia keseruan Komiker di acara Festival Kebhinekaan 7 (sumber: dok.pri)

Secara umum kita hanya mengenal 6 agama yang diakui oleh negara Indonesia, Islam, Buddha, Kristen, Katolik, Hindu dan Konghucu. Ternyata selain itu ada juga masyarakat yang tidak memegang keenam kepercayaan tersebut karena memiliki aliran kepercayaan dari para leluhurnya di daerahnya tinggal.

Ketika mengetahui kegiatan ini dari Mba Ira Lathief, wah sepertinya menarik nih ada rangkaian acara Festival Kebhinekaan 7 yang akan digelar tanggal 17-25 Februari 2024. 

Ini sudah kesekian kalinya saya ikut di acara Festival Kebhinekaan dari tahun ke tahun. Saya menantikan kegiatan ini, karena selalu ada hal baru yang menambah wawasan dan tentunya juga membawa saya untuk berefleksi, apakah saya sudah cukup toleran dengan orang yang mungkin memiliki kepercayaan yang berbeda dari saya?

Tahun ini Festival Kebhinekaan 7 kembali berkolaborasi dengan Komik Kompasiana. Acara tanggal 17 Februari 2024 menjadi hari pembukaan yang sangat berkesan. 

Betapa tidak, acara pertamanya adalah diskusi dan launching buku "Kita dan Mereka" karya Agustinus Wibowo, salah satu penulis tersohor di negeri ini yang sudah berkeliling di negara-negara berakhiran -stan. 

Penulisan bukunya pun memakan waktu lama sekali hingga 6 tahun, karena ini adalah hasil perenungan beliau dan tentunya berdasarkan apa yang beliau alami dan rasakan selama berkelana dan bertemu dengan orang yang berbagai rupa dan warna budaya.

Mengenal Puan Hayati lebih dalam

Sesi diskusi setelah nonton bareng film Puan Hayati dan Simalakama di Tanah Istimewa (sumber: dok.pri)
Sesi diskusi setelah nonton bareng film Puan Hayati dan Simalakama di Tanah Istimewa (sumber: dok.pri)

Puan Hayati merupakan salah satu bagian dari Sapta Darma, nah hal ini tentunya sangat menarik. Melalui film dokumenter Puan Hayati: Threads of Faith, kita seolah diajak untuk langsung melihat keseharian dari para pengkhayat kepercayaan Sapta Darma. 

Menariknya, narasumber dalam film ini, Mba Nata Hening hadir dan ikut berdiskusi setelah menonton film. Mba Nata menceritakan juga bahwa dirinya saat sekolah harus menghadapi perlakuan diskriminasi dari teman-temannya, bahkan juga tetangga sekitar. 

Mba Nata juga terpaksa harus memilih salah satu dari 6 agama yang diakui negara. Pilihannya jatuh kepada Islam, karena menurutnya yang paling mendekati. Mba Nata juga sempat menggunakan hijab dalam kesehariannya di sekolah, ikut pengajian dan bahkan memimpin karena dianggap fasih membaca Alquran.

Namun, seiring berjalannya waktu Mba Nata bisa menjadi dirinya sendiri karena adanya dorongan dari kedua orang tuanya dan juga Mba Nata mengambil kuliah di Untag Lampung dengan program studi Pendidikan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. 

Program studi ini menjadi satu-satunya di Indonesia dan bahkan dunia yang mewadahi para penganut aliran kepercayaan untuk dapat mendalami dan nantinya bisa mengajar di aliran kepercayaannya masing-masing. Berbagai inspirasi diperoleh ketika selesai nonton dan diskusi dengan Nata Hening Graita Prameswari, dan Asisten Director Film Ani Ema Susanti.

Masyarakat Tionghoa tidak boleh punya hak milik tanah?

Lain lagi halnya dengan film yang kedua. Simalakama di Tanah Istimewa ini juga memberikan perspektif yang kebetulan juga saya alami sebagai warga tionghoa di Indonesia. 

Betapa tidak, pada masa Orde Baru, menggunakan identitas asli Tionghoa menjadi salah satu penyulit diri sendiri dan keluarga. Karena dianggap Tionghoa, maka hak-hak kepemilikan toko, rumah dan tanah menjadi sesuatu yang sangat sulit.

Beberapa narasumber Tionghoa antara lain bapak Harry Setio (pemilik Paguyuban Budi Abadi), almarhum Willie Sebastian (aktivis Tionghoa yang tinggal di Jogja), Andry Lesmono Bintoro (sekretaris Forum Peduli Tanah DIY), dan Elin Sugianti (Pengusaha sekaligus Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia). Ada juga opini dari para pakar seperti Samsul Maarif (akademisi UGM) dan Suwito (Kepala BPN Jogja) turut mewarnai film ini.

Saya sendiri jadi berefleksi, mengapa mereka yang sudah jelas mengabdi untuk bangsa ini masih sulit untuk mendapatkan hak sipil karena hanya peranakan Tionghoa? 

Lewat diskusi bersama Muhamad Sridipo selaku Produser, membuka wawasan bahwa hak sipil kepemilikan tanah ini di Jogja juga berlaku untuk para warga negara asing misalnya Eropa. 

Upaya untuk berdialog dengan pihak Keraton sudah diajukan, namun sampai saat ini masih menunggu waktu lebih lanjut untuk membahas lebih dalam.

Acara nonton bareng Film Puan Hayati dan Simalakama di Tanah Istimewa ini sangat seru, dipandu oleh Noval Kurniadi dari Komik yang menjadi moderatornya. 

Melalui acara Festival Kebhinekaan 7 ini saya jadi lebih mendalami bahwa sampai saat ini aliran kepercayaan (pengkhayat) masih berjuang untuk dapat diterima di masyarakat dan para minoritas misalnya keturunan Tionghoa juga masih bergelut dengan pemenuhan hak-haknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun