Mba Nata juga terpaksa harus memilih salah satu dari 6 agama yang diakui negara. Pilihannya jatuh kepada Islam, karena menurutnya yang paling mendekati. Mba Nata juga sempat menggunakan hijab dalam kesehariannya di sekolah, ikut pengajian dan bahkan memimpin karena dianggap fasih membaca Alquran.
Namun, seiring berjalannya waktu Mba Nata bisa menjadi dirinya sendiri karena adanya dorongan dari kedua orang tuanya dan juga Mba Nata mengambil kuliah di Untag Lampung dengan program studi Pendidikan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.Â
Program studi ini menjadi satu-satunya di Indonesia dan bahkan dunia yang mewadahi para penganut aliran kepercayaan untuk dapat mendalami dan nantinya bisa mengajar di aliran kepercayaannya masing-masing. Berbagai inspirasi diperoleh ketika selesai nonton dan diskusi dengan Nata Hening Graita Prameswari, dan Asisten Director Film Ani Ema Susanti.
Masyarakat Tionghoa tidak boleh punya hak milik tanah?
Lain lagi halnya dengan film yang kedua. Simalakama di Tanah Istimewa ini juga memberikan perspektif yang kebetulan juga saya alami sebagai warga tionghoa di Indonesia.Â
Betapa tidak, pada masa Orde Baru, menggunakan identitas asli Tionghoa menjadi salah satu penyulit diri sendiri dan keluarga. Karena dianggap Tionghoa, maka hak-hak kepemilikan toko, rumah dan tanah menjadi sesuatu yang sangat sulit.
Beberapa narasumber Tionghoa antara lain bapak Harry Setio (pemilik Paguyuban Budi Abadi), almarhum Willie Sebastian (aktivis Tionghoa yang tinggal di Jogja), Andry Lesmono Bintoro (sekretaris Forum Peduli Tanah DIY), dan Elin Sugianti (Pengusaha sekaligus Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia). Ada juga opini dari para pakar seperti Samsul Maarif (akademisi UGM) dan Suwito (Kepala BPN Jogja) turut mewarnai film ini.
Saya sendiri jadi berefleksi, mengapa mereka yang sudah jelas mengabdi untuk bangsa ini masih sulit untuk mendapatkan hak sipil karena hanya peranakan Tionghoa?Â
Lewat diskusi bersama Muhamad Sridipo selaku Produser, membuka wawasan bahwa hak sipil kepemilikan tanah ini di Jogja juga berlaku untuk para warga negara asing misalnya Eropa.Â
Upaya untuk berdialog dengan pihak Keraton sudah diajukan, namun sampai saat ini masih menunggu waktu lebih lanjut untuk membahas lebih dalam.
Acara nonton bareng Film Puan Hayati dan Simalakama di Tanah Istimewa ini sangat seru, dipandu oleh Noval Kurniadi dari Komik yang menjadi moderatornya.Â