Mohon tunggu...
Linda Puspita
Linda Puspita Mohon Tunggu... Buruh - Pekerja Migran

Be yourself

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tragedi Mimpi Penjaga Diri

4 Maret 2021   09:40 Diperbarui: 4 Maret 2021   09:45 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bawah mega senja yang memeluk bumi.

Semeribit embusan angin menyejukan jiwa. Semua keindahan terpecah oleh teriakan dua insan yang bergulat dengan perasaan. Memaksakan kehendak masing-masing.

Air mata menggantikan peran senyum di wajah sang bidadari.

"Pokoknya kita putus!"

Kata biasa, tapi penuh makna, menyayat hati layaknya sebilah pisau, perih.

Ya ... teramat perih hati yang kurasa, hingga hiliran sungai deras mengalir ke muara. 

Hancur berkeping-keping tersambar halilintar ucapannya.

"Mulai detik ini, jangan pernah ganggu hidupku lagi! Kita tempuh jalan kita masing-masing."

Kakiku bergetar, luluh tak berdaya. Aku tersungkur pada tumpukan pasir yang terhempas sang ombak. Benci aku harus memohon, tapi jiwa kecil dalam diriku membutuhkannya. Aku bersujud pada kakinya dan dia justru menendangku ke pesisiran. 

Di manakah nalurinya? Kemanakah, cinta kasih yang dulu dia ukir dalam setiap rayuan. Sentuhan lembut yang menggoyahkan imanku?

"Jangan tinggalin kami Rey, aku mohon," ucapku memeluk kakinya. "Aku tidak peduli kalau kamu tidak mencintaiku lagi, tapi aku mohon cintailah jiwa dalam diriku ini," lanjutku dengan suara yang tersendat-sendat karena isak tangis yang mencekik kerongkonganku.

Namun, dia tetap beranjak pergi meninggalkan luka di setiap jejak kakinya. Tak sedetik pun dia menoleh ke arahku.

"Rey ...!" teriakku dengan sisa suara yang kupunya.

*******

Sepekan telah berlalu. Rey tidak pernah hadir lagi untuk menciptakan pelangi di setiap hariku, bahkan suara panggilannya yang meluluhkan kalbu, hilang dari pendengaranku. 

Namun satu yang tak pernah berhenti, ialah sang waktu.  Ia terus bergulir mengiringi langkahku.

Hari-hariku terasa sepi dan hampa, tidak ada lagi senyuman yang tergambar di raut wajahku yang katanya putih berseri. Hilang sudah sinar yang terpancar. Aku hanya menghabiskan waktu untuk berdiam diri di dalam kamar yang menjadi saksi bisu cinta kasihku bersama Rey.

Tiada seorang pun datang membujukku keluar, meski hanya untuk sekedar menyuruh makan saja. Kedua orang tuaku selalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Hampir semua waktu mereka habiskan di luar kota dengan alasan pekerjaan setiap kali aku tanya.

"Sebenarnya aku ini siapa? Kenapa Papa sama Mama tidak pernah peduli dengan keadaanku?" teriakku dengan sekuat tenaga dan kedua tangan menarik lepas seprai tempat tidurku.

Air mata tak dapat lagi kubendung, kubiarkan mengalir sesukanya.

Rasa penyesalan atas kebodohanku yang percaya dengan janji manis Rey yang terasa indah saat terucap, terus menghantui pikiranku.

"Bajingan kamu, Rey," selorohku sambil membenturkan kepala ke tembok.

Berulang kali kepala ini menjadi korban pelampiasan amarahku, sehingga putih warna tembok kamarku kini berubah merah. Bau anyir menyeruak. Rasa sakit di kepalaku ini tak sebanding dengan luka yang dia torehkan di hatiku.

*****

Lurus pandanganku menatap alam dari ketinggian. Kosong tak bernyawa. Aku berdiri tepat di bibir roof-top. Berjalan perlahan tanpa arah, diterpa angin kencang serta rintikan hujan yang berlomba menyentuh bumi.

"Buat apa aku terus berkelana di dunia fana ini, kalau tidak ada satu pun yang peduli denganku," ucapku, aku tak kuasa lagi menahan air mata yang menerobos kelopakku.

"Sayang maafin mama, tidak bisa mempertahankan ayahmu untuk tetap bersama kita. Maafin mama karena tidak bisa menunggumu lahir ke dunia yang kejam ini, semoga kita bertemu di surga, ya, Sayang," ujarku sambil mengelus perut.

Tekadku sudah bulat untuk keputusan yang sangat menyakitkan. Mungkin ini hukuman atas perbuatanku selama bersama Rey yang kucintai. Dulu aku rela melakukan apa saja demi dia, dengan alasan nama cinta. Kini aku sendiri, bersama cinta yang ternoda.

"Mama papa maafin Rina, sekarang Rina harus pergi, selamat jalan ma, pa, Rina sayang kalian. Selamat tinggal dunia," selorohku menatap tajam jauh ke dasar gedung.

Aku menutup mata dan memberanikan diri untuk melangkah.  Tiba-tiba, samar terdengan suara wanita terus memanggilku. Suara itu semakin lama semakin jelas 

"Ri-na bangun!" 

Aku terperanjat dari tidurku. Tubuhku terguling, jatuh, dan sialnya kepalaku membentur lemari kecil tepat di sebelah ranjang. Degup jantungku begitu kencang, seluruh badan dan wajahku dibasahi keringat.

"Rina, kamu itu tidur atau pingsan! Cepetan bangun!" 

"Ibu, itu suara ibu. Jadi, yang tadi itu ...," gumamku, "iya, Bu, Rina sudah bangun," sahutku, seketika suara wanita pelindungku terdengar lagi.

Tiba-tiba ponselku berdering.  Aku memutar pandangan mencari sumber suara di antara selimut, bantal, dan seprei yang tak karuan lagi bentuknya.  

Nah, Itu dia di ujung tempat tidur, batinku. 

Saatku buka, ada 3 pesan singkat yang semuanya dari Rey, kekasihku. 

Selamat pagi honey, pesan pertama.

Sayang, hari ini aku jemput kamu jam 9.30, pesan kedua.

Sayang, jangan lupa dandan yang cantik, luv u honey, pesan terakhirnya.

Tiga pesan dengan kata-kata cinta dari Rey membuatku begitu terkejut.

"I-ni ... aku nggak salah baca, 'kan?" ujarku seraya mengucek-ngucek mata tak percaya, "terusyang tadi itu ...," lanjutku memegang perut.

"Rina! Sedang apa kamu? Buruan keluar, itu Rey sudah jemput!" panggil ibu mengagetkanku lagi.

"Rey," gumamku.

"Iya Ma, suruh Rey tunggu sebentar!" sahutku.

Aku langsung bergegas ke kamar mandi. Melupakan sejenak tentang kejadian yang menimpaku tadi malam yang terasa seakan begitu nyata. Bagiku yang terpenting, Rey tetap menyayangiku untuk sekarang dan juga nanti sampai ajal memisahkan, seperti janjinya di hari pertunangan sebulan lalu.

Mimpi itu telah memberiku sebuah pelajaran, untuk berhati-hati dalam berhubungan dengan laki-laki tanpa ada ikatan resmi yang dihalalkan oleh agama, pernikahan.

Walau begitu, aku tetap pergi bersama Rey dengan mengendarai motor besarnya. Senyum berkembang di wajah dan hatiku seraya berkata, "Terima kasih, Tuhan, Engkau telah memberiku peringatan lewat mimpi semalam. Sekarang aku akan lebih berhati-hati dan menjaga jarak dengan Rey sampai hari itu tiba, meski aku sangat mencintainya."

Hong Kong, 15/12/14

Revisi, Hong Kong, 4 Februari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun