Sumber foto: istockfoto.com
Aku benci kamu. Meski kamu tuanku. Tempat aku bernaung. Entah sudah berapa banyak kesenangan kamu biarkan. Tidak bisakah kamu dengarkan aku, tanpa bertanya padanya.
Sore itu, rintik jatuh menyetubuhi bumi yang kering setelah sepekan tak diselimuti hujan. Aroma tanah menguar, menyengat hidungmu. Ide-ide liarku berkeliaran.
"Punya rencana apa, kamu?"
"Apa urusanmu?"
"Jelas ini urusanku. Aku ditugaskan untuk mengaturmu supaya tidak sembrono."
"Lihat saja apa yang akan terjadi nanti malam!"
Sumpah, dia itu sangat menggangu. Kenapa dulu kamu pilih dia untuk tinggal bersamamu. Kenapa bukan hati yang lain. Hati yang suka pesta dan dentuman musik setan.
Namun, hari ini aku sedikit bahagia. Kamu mau datang penuhi undangan Tamara, seperti pintaku. Aku suka gadis itu. Apalagi saat menggerlingkan mata. Aku yakin dia pasti merasakan desiran, tapi dia berlagak tidak ada apa-apa. Dasar munafik! Bodohnya, kamu malah ikut-ikutan dia, munafik.
Jarum jam berdenting di angka sembilan, aku bersorak kegirangan. Kamu sudah mulai merapikan diri. Kemeja kotak-kotak merah hitam dan lengan baju digulung sampai siku, membuat aromamu terpancar.
"Fokus saja ke wajahmu di cermin. Stop melirik ke foto di atas meja. Mereka tidak akan tahu, bodoh!"