Seiring berjalannya waktu, keluarganya mulai meminta Ismad untuk menikah lagi, terutama ibunya. Namun Ismad tak pernah menanggapi permintaan itu. Kwatir dari sang ibupun mulai tampak kenyataan, Ismad sudah mulai mengenal minuman lagi dan jarang pulang kerumah. Bahkan pekerjaan kantor sudah mulai tak dihiraukan. Tipisnya iman semakin menggoyahkan dirinya, semakin ia mencoba kuat semakin merantai diri dengan kegelisahan.
Dan ujian itu juga belum berakhir, ketika putri semata wayangnya sakit keras ia merasa Tuhan itu semakin tidak adil. “ Mengapa bukan aku, mengapa ya Tuhan”mulutnya masih tercium bau minuman.
Bukanlah sabar yang ia perbanyak, itu semakin membuatnya putus asa. Ditambah dengan apa yang ia miliki telah terjual hanya untuk membiayai putrinya. Dalam keadaan terpuruk seperti itu, satu dua orang temannya menjauh seolah tak mau tahu, tapi bukan untuk Andi, ia masih memotivasi bahkan membantu Ismad dalam materi.
“ Ini sangat bermamfaat sekali, terimakasih banyak” memperhatikan amplop kecil ditangannya.
“Ini tidak seberapa, aku tak pernah menyangka seorang anak pengusaha berteman dengan seperti kami anak jalanan”, “ jangan bicarakan kesana, semua telah berlalu” Ismad seolah mmenghindar mengingat Istri tercinta Dya Akhirunnisa.
“Abi..?”, “ iya sayang”mengambil tangan abinya lalu meletakkannya diatas dadanya. “ Za, ingin umi baru”betapa putrinya merindukan sosok seorang ibu. Bukan untuk yang pertama kalinya Zahra menyebutkan keinginan yang tak bisa dijawab oleh Ismad. “ Iya sayang, tapi Za harus sembuh”.
Tak begitu ramai, Ismad hanya mengundang keluarga besar dan teman terdekatnya saja. “ Jelita, Samawa yah !” sebut salah seorang sahabat wanita yang bersanding dipelaminan itu.
Sangat beruntung, Ismad memiliki Istri yang begitu sabar. Setelah beberapa bulan menikah tak sekalipun ia menyentuh istrinya, mereka tak lebih sepasang suami istri tapi hanya sebatas dibuku nikah.
“Zahra, nanti jangan jajan sembarang yah” Suara lembut terdengar “Hati-hati yah mas!” menyalam tangan ismad. Tiada yang tahu keakuran yang tampak hanya cambukan batin yang dirasakan oleh Jelita. Hingga suatu hari, apa yang dirasakannya tak lagi bisa disembunyikan. Usai melantunkan beberapa ayat suci, ia memastikan Zahra sudah tertidur terlebih dahulu, baru ia beranikan diri.
“ Mas..?”, “ Iya Jelita”baru pertama kalinya ia mengajak obrolan dengan sengaja.
“ akh apapun yang terjadi aku harus jujur, aku sudah tak sanggup seperti ini”berontak dalam hatinya.