"Kau lebih baik di sini."
Salsa mengajak Noah ke roof top. Jarinya menunjuk kursi dan meja kayu di bawah kanopi, di sampingnya terdapat sekotak taman yang ditanami Aster dan Violet. Noah tersenyum lalu bertepuk tangan mengakui kemampuan Salsa dalam mendesain rumah.
"Kau mau kemana?" tanya Noah.
"Kopi panas untukmu." Salsa tertawa. Langkah kakinya tegas mengetuk bumi.
"08.12 malam," gumam Salsa sambil menyiapkan cangkir kosong berikut baki keramik bercorak wanita menari. Tatapannya mengarah pada jendela kaca mosaik warna-warni, nanar dan dalam. Bias cahaya dari luar membuat wajahnya ikut berwarna-warni. Sebelum kembali ke atap, Salsa ke kamar mandi untuk mengetahui suaranya masih tercekat di leher atau tidak.
"Ah sial!" Suaranya masih parau! "Aku tidak boleh terlalu lama di sini," katanya pelan. Matanya memejam karena kecewa dengan suaranya yang alih-alih lebih tenang malah menjadi gemetar dan bernada tinggi. "Sssshhhh....." Ia mencoba menegakkan diri. Telapak tangannya menepuk-nepuk lutut yang bergetar.
"Oh Tuhan!" rintihnya. "Tolong aku...."
Salsa menghembuskan nafas lega setelah berhasil sampai dapur. Setidaknya ia tinggal mengambil cangkir kopi, meletakannya ke nampan lalu membawanya ke atap. Namun ia kembali jatuh terduduk di lantai ketika mendengar tawa terbahak-bahak yang memekikkan telinga. Mata Salsa kembali menatap jendela kaca polos, batinnya berteriak ingin segera mengganti semua kaca polos dengan kaca mosaik, termasuk kaca matanya sendiri.
Noah menatap pintu besi yang tak kunjung terbuka. Kemana Salsa? Katanya membuat kopi, tetapi mengapa sampai sekarang belum kembali? Apakah Salsa belum selesai membuatnya? Ah tidak! Salsa adalah peracik kopi yang handal. Kopi seakan sudah menjadi kebutuhannya. Maka tidak mungkin jika stok kopi atau air panas habis, dua hal itu selalu tersedia di rumah.
"Sa!" teriak Noah. Biasanya dengan satu panggilan Salsa akan segera menyahut.
"Sa!" Noah kembali berteriak, tetap tidak ada jawaban. Ia berdiri, bermaksud mencari Salsa, menelisik semua ruangan.