Mohon tunggu...
Lina M
Lina M Mohon Tunggu... Lainnya - Wisteria

There's gonna be another mountain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sekuntum Kacapiringku Pecah

21 Maret 2020   09:31 Diperbarui: 21 Maret 2020   15:20 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dijahili sedikit saja aku akan menangis, melapor pada Ibu, menuliskan butir-butir rasa sakitku di buku harian. Aku bagai sejumput kapas yang terlepas dari kelopaknya, terombang-ambing bahkan sampai di tempat dimana tidak terdapat pohon kapas sama sekali. Ringan, terapung, berserat namun terlalu lembut, citranya memalukan.

"Ada yang sakit?" tanya Aline. Aku masih menangis dalam keadaan jatuh terduduk. "Desta merobek sampul bukuku."

Aline menghela nafas panjang, itulah tanggapannya setelah mengetahui suatu sebab.

"Saakittt! Lututku berdarah!"

Aku menangis dan mengeluhkan sakit. Aline memang memeriksa lukaku, mengusapnya dengan jari seperti memastikan itu luka serius atau tidak. Setelah itu ia menatapku seolah memintaku untuk menangis dan mengaduh seperlunya saja. Segera saja aku memelankan tangis. Ia menali rambutnya ekor kuda lalu mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.

"Pulang, Di." Itulah yang dikatakan ketika aku terluka. "Aku tidak bisa melakukan apapun pada lecetmu. Lebih baik kamu pulang dan temui Ibumu."

Jika sudah sampai depan rumahku, Aline akan mengurai lagi rambutnya lalu bergegas pulang. Sedangkan aku dibiarkan berdiri menunggu pintu gerbang rumahku terbuka. Ibu pasti akan tergopoh-gopoh penuh kecemasan jika melihatku pulang dalam keadaan terluka atau menangis. Sebelum masuk rumah, aku menatap Aline yang berjalan santai.

"Uh!" Aline tersandung batu. Jatuh tersungkur, sepertinya sakit sekali. Mataku memicing melihatnya melepas sepatu lalu mengeluarkan kaki. Sesakit apa itu, Aline? Ibu jari kakinya berdarah sedemikian banyak. 

Tetapi Aline tetap tenang. Lalu mengatakan, "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Seperti itulah yang dikatakan ketika ia terluka. Bahkan opname di rumah sakit berminggu-minggu pun mengatakan hal sama padaku. "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja."

"Itu sakit, Al," pekikku. Aline menggeleng.

Aku terdiam menatap Aline yang berjalan semakin pelan, pelan dan semakin pelan. Ada apa dengannya? Cara berjalan Aline tidak seperti biasa, cepat dan segera. Namun kali ini Aline berjalan seperti kukang, sloth. 

Aku tidak pernah melihat hal itu, membuatku terus berdiri di depan pintu gerbang, menunda diriku untuk masuk rumah serta menahan rasa sakit di lutut. Eh sebenarnya tidak sesakit itu!

Aku benar-benar ingin menunggu Aline hilang dari pandanganku meski lebih dari dugaan, ia berjalan lebih lambat dari yang kukira. Keesokan harinya setelah pulang sekolah aku menangis. Aline tidak berangkat sekolah. Hari selanjutnya aku menangis lagi, Aline tidak berangkat sekolah. Ketika kudatangi rumah Aline sudah kosong.

Kemana perginya Aline, tidak ada yang tahu. Aku menangis. Mengapa Aline menghilang begitu saja? Mengapa terlalu tiba-tiba, Aline?

***

Sampai saat ini aku tidak mengerti keberadaan Aline. Aline pun seakan tidak memberi celah kepada manusia sepertiku yang selalu mencarinya. Ia bahkan seperti tidak mendigitalkan diri, tidak ada rekam digital yang dapat kutemukan atas nama Aline Reynaldi.

Jauh-jauh hari sebelum memberanikan diri untuk menemukan Aline, aku berjanji tidak akan membuatnya menangis atau terluka lagi. Aku berjanji jika suatu saat nanti aku berkesempatan untuk bertemu dengan Aline, aku dapat bersikap tegas dan kharismatik. Harapanku untuk menemukan Aline tidak pernah pupus. Aku hanya ingin meminta maaf tentang kebodohan masa kecilku. Itu saja.

Berbagai cara kuusahakan. Segala sesuatu yang mungkin menarik perhatian Aline kudatangi. Batinku meronta-ronta nelangsa. Yang kukenal adalah Aline gadis kecil. Apakah ia tumbuh dewasa dan tetap seperti itu?

Aku memperhatikan setiap perempuan yang berkelebat di depanku. Tidak jarang aku menatap seseorang hanya untuk mengetahui wajahnya. Hari ini mungkin sudah 50 perempuan yang kulihat, semuanya nihil.

Tiba-tiba hidungku mengendus wangi bunga kaca piring. Inilah bau khas Aline. Aku segera berdiri, yakin bahwa Aline berada di sekitarku. Lagi-lagi aku ingin menangis, mataku sudah berkaca-kaca setelah melihat orang-orang di ruangan ini masing-masing menggenggam sekuntum bunga kaca piring. Suaraku sudah tercekat di leher ketika seorang pelayan memberiku sekuntum bunga yang sama.

"Terima kasih sudah hadir di pameran ini," katanya ramah.

Aku mengangguk, tentu saja. Apa yang dapat kulakukan selain itu? Jika bersuara sedikit saja pasti memalukan. Seorang anchor news tidak mungkin bersuara parau dan memiliki tatapan mata cengeng. Aku menyembunyikan diri dengan menatap lukisan wanita tua yang sedang bermain cucunya.

Dasar laki-laki cengeng! Mataku kembali berkaca-kaca setelah menoleh ke arah kanan. Aku ingin seluruh semesta tahu bahwa aku tidak dapat mendeskripsikan perasaanku saat itu. Sesuai dugaanku, Aline tumbuh dengan sempurna, segala kesempurnaan makhluk ia sandang dengan penuh kharismatik. 

Hatiku berceceran setiap Aline mengedipkan mata, lututku bergetar dan melemah seolah gentar dan tidak pantas menampakkan diri di kehidupannya lagi. Jika bukan karena sikap tegasnya yang harus kuimbangi, mungkin aku sudah jatuh terduduk disertai tangisku yang meraung-raung.

"Aline!" panggilku pelan. Aline tidak menanggapi panggilanku. Ia hanya memberi tatapan sekilas lalu mengalihkan pandangan pada secangkir teh yang mengepul di depannya. Apakah aku terlalu membosankan?

Aku butuh beberapa saat untuk menata ulang diriku yang sempat berantakan. Sedikit demi sedikit legoku mulai terorganisir kembali. Aku menatap Aline dengan teduh kemudian tersenyum padanya. 

Ia menanggapi dengan tatapan datar dan garis bibir yang tidak bergerak sedikitpun. Sekarang aku berhasil menemukan Aline, inilah kesempatan terbaik untuk mengenal diriku bahwa aku bukan Ferdinant yang dulurapuh, cengeng dan tak berdaya.

"Aline, kau boleh menangis di sini, mengumpatkan segala macam hal. Aku dengan senang hati akan mendengarmu, menyimak cerita dan menenangkanmu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian lagi dan membiarkanmu menanggung semua kesakitan."

"Aline, aku mohon kesediaanmu untuk mengenalku kembali."

Legoku satu persatu jatuh berguguran ketika detik-detik berjalan tanpa ada tanggapan dari Aline. Gadis itu bersikap seolah tidak ada manusia di hadapannya, tidak ada yang mengajaknya berbicara, bersikap seolah sedang sendirian. Beberapa saat kemudian ia menatapku datar meski garis bibirnya tetap tidak bergeser sedikitpun.

Aku sangsi, menelan ludah. Tatapan matanya menggerogoti pertahananku.

Kini aku tahu apa yang Aline rasakan waktu itu. Aku merasakan betapa sakitnya di saat penuh pengharapan mendapat tindakan pertolongan namun nyatanya hanya memperoleh tatapan datar yang kosong.

Baiklah, aku mengaku. Seperti itulah yang kulakukan kepadanya di masa lalu. Aline kalang kabut menghindari tangan nakal Ben dan Joni yang hendak melihat warna celana dalamnya, jatuh tersungkur  dijegal Vita dan Sevina yang tidak suka Aline menerima banyak pujian dari kakak kelas, rambut ekor kudanya dipotong begitu saja oleh Shelta yang iri dengan kepandaiannya, atau sepatu Aline yang disiram air lalu nasi bekalnya dituangkan ke dalamnya. 

Meski ia terluka hingga berdarah, berjalan pincang, rambutnya tidak rapi lagi, bajunya kotor dan lebam tetapi ia akan tetap tersenyum padaku dan mengatakan,

"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Lalu segera mengajakku pulang. Setelah mengantarku sampai depan rumah, ia akan berlari pulang. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya selalu tergesa-gesa pulang.

Segala sesuatu yang terjadi pada Aline, aku hanya menatap datar dengan pandangan kosong. Aku terlalu penakut untuk menghadapi orang-orang angkuh yang menyakiti Aline. Aku terlalu takut untuk terluka dan terlalu mudah menangis.

"Ferdinant," panggilnya. Aku tersenyum. Hatiku bersorak mendengarnya, ia masih mengenal dan mengingat namaku. "Terima kasih masih mengenalku. Aku turut bahagia melihatmu. Syukurlah kita bertemu kembali dimana kita sudah sama-sama dewasa, telah melewati berbagai hal dan pencapaian," katanya. Nada suaranya lugas namun dalam. "Hai Ferdinant!" Ia menyapaku. Kaku!

Kami bercakap-cakap dan berdiskusi dengan asyik hingga tidak menghiraukan dinginnya roof top dan angin malam. Aku menanyakan banyak hal, dan ia menjelaskan banyak hal pula. 

Pembicaraan kami terhenti setelah munculnya ruam kemerahan di ufuk timur. Aku tersenyum pasrah seolah marah pada semesta mengapa orbit bumi terlalu cepat. Sedangkan Aline tidak pernah membersitkan emosinya, selalu datar dan datar.

Ia berdiri. Keajaiban muncul ketika ia menarik garis bibirnya di hadapanku meski hanya ala kadarnya. Aku menerima jabat tangannya dengan hangat.

"Sampai jumpa, Aline," kataku. Namun Aline menggeleng lantas mengatakan. "Aku tidak ingin mengenalmu lagi. Selamat tinggal!"

Ia mundur dan menjauh. Meninggalkanku yang masih berdiri mematung.

Aline berjalan tenang. Ia memicingkan mata ketika mendengar suara tangis laki-laki yang sesungguhnya menyayat hatinya. Matanya berkaca-kaca, tangannya menggenggam erat kuntum bunga kaca piring untuk menahan emosi yang meluap-luap.

"Aku tidak boleh menangis. Aku baik-baik saja!" batinnya. "Aku tidak mungkin bertahan dengan manusia secengeng itu, hanya membuatku lelah saja!" Aline membuang bunga kaca piring.

Aku menatap kepergian Aline dari roof top. Aku harus berbesar hati bahwa gadis itu tidak menerima kembali kehadiranku. Meskipun aku sudah mengungkapkan rasa bersalah dan menyesal, aku tidak dapat mengeringkan lukanya. 

Aku sudah berusaha menyakinkan bahwa aku sudah berubah dan mampu bersikap untuk melindungi, Aline tetap tidak ingin mengenalku lagi. Dan ini bisa dipastikan menjadi kesempatan terakhirku dapat bercakap-cakap dengannya.

"Mengapa aku harus sekuat itu? Harusnya aku bertindak seperti anak kecil lainnya, tetapi aku malah seperti Hulk yang terlalu tangguh. Meskipun begitu nyatanya aku sama sekali tidak aman, bahkan ketika kamu ada di sisiku, Di. Bisa kamu bayangkan betapa perihnya ketika tangan-tangan nakal berusaha menyibak rok hanya untuk mengetahui warna celana dalam, sedangkan di depannya berdiri seonggok daging bernyawa yang hanya menatap kosong tidak berbuat apa-apa karena terlalu takut! Dan aku tidak mau berdampingan dengan manusia semacam itu."

"Ferdinant, sejatinya saat itu aku sama sekali tidak dapat mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Aku hanya tidak ingin melihatmu takut dan mendengar tangismu."

Aku menangis. Mengapa aku menangis? Oh iya, aku ini manusia cengeng yang terlalu takut untuk terluka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun