Dasar laki-laki cengeng! Mataku kembali berkaca-kaca setelah menoleh ke arah kanan. Aku ingin seluruh semesta tahu bahwa aku tidak dapat mendeskripsikan perasaanku saat itu. Sesuai dugaanku, Aline tumbuh dengan sempurna, segala kesempurnaan makhluk ia sandang dengan penuh kharismatik.Â
Hatiku berceceran setiap Aline mengedipkan mata, lututku bergetar dan melemah seolah gentar dan tidak pantas menampakkan diri di kehidupannya lagi. Jika bukan karena sikap tegasnya yang harus kuimbangi, mungkin aku sudah jatuh terduduk disertai tangisku yang meraung-raung.
"Aline!" panggilku pelan. Aline tidak menanggapi panggilanku. Ia hanya memberi tatapan sekilas lalu mengalihkan pandangan pada secangkir teh yang mengepul di depannya. Apakah aku terlalu membosankan?
Aku butuh beberapa saat untuk menata ulang diriku yang sempat berantakan. Sedikit demi sedikit legoku mulai terorganisir kembali. Aku menatap Aline dengan teduh kemudian tersenyum padanya.Â
Ia menanggapi dengan tatapan datar dan garis bibir yang tidak bergerak sedikitpun. Sekarang aku berhasil menemukan Aline, inilah kesempatan terbaik untuk mengenal diriku bahwa aku bukan Ferdinant yang dulurapuh, cengeng dan tak berdaya.
"Aline, kau boleh menangis di sini, mengumpatkan segala macam hal. Aku dengan senang hati akan mendengarmu, menyimak cerita dan menenangkanmu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian lagi dan membiarkanmu menanggung semua kesakitan."
"Aline, aku mohon kesediaanmu untuk mengenalku kembali."
Legoku satu persatu jatuh berguguran ketika detik-detik berjalan tanpa ada tanggapan dari Aline. Gadis itu bersikap seolah tidak ada manusia di hadapannya, tidak ada yang mengajaknya berbicara, bersikap seolah sedang sendirian. Beberapa saat kemudian ia menatapku datar meski garis bibirnya tetap tidak bergeser sedikitpun.
Aku sangsi, menelan ludah. Tatapan matanya menggerogoti pertahananku.
Kini aku tahu apa yang Aline rasakan waktu itu. Aku merasakan betapa sakitnya di saat penuh pengharapan mendapat tindakan pertolongan namun nyatanya hanya memperoleh tatapan datar yang kosong.
Baiklah, aku mengaku. Seperti itulah yang kulakukan kepadanya di masa lalu. Aline kalang kabut menghindari tangan nakal Ben dan Joni yang hendak melihat warna celana dalamnya, jatuh tersungkur  dijegal Vita dan Sevina yang tidak suka Aline menerima banyak pujian dari kakak kelas, rambut ekor kudanya dipotong begitu saja oleh Shelta yang iri dengan kepandaiannya, atau sepatu Aline yang disiram air lalu nasi bekalnya dituangkan ke dalamnya.Â