Mohon tunggu...
Lina M
Lina M Mohon Tunggu... Lainnya - Wisteria

There's gonna be another mountain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Lelah Hidup Terlalu Lama, Gelisah Hidup Terlalu Pendek

8 Maret 2020   14:36 Diperbarui: 8 Maret 2020   18:48 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pixabay.com/wfranz

Jika Tuhan memberi kesempatan untuk hidup pada kehidupan selanjutnya, kamu ingin menjadi apa? Kendra menjawab, "Aku hanya ingin menjadi seekor capung berwarna merah yang hidup di perairan pegunungan."

Tuhan tersenyum, tangannya menyeka peluh Kendra. "Kau tidak perlu berlari. Dengan berjalan santai pun kau akan sampai ke tempat tujuan." Kendra lantas menjawab dengan sedikit bantahan, "Kukira kematianku masih jauh."

"Berhati-hatilah dalam memutuskan sesuatu. Hidupmu yang serupa tidak akan berulang." Tuhan melepas genggaman. "Berbahagialah di kehidupanmu, Kendra. Berhentilah untuk bertatap muka padaku. Kamu cukup berdoa, aku pasti mendengar." Kendra menangis. Lantas ia menjerit, satu jarinya menahan genggaman. "Aku ingin hadiah dari pertemuan ini!"

Tuhan hanya menatapnya dalam, seolah berharap Kendra agar percaya akan suatu hal bahwa ia dapat memperoleh kebahagian di setiap kehidupannya.

Semua tiba-tiba menjadi silau. Kendra kembali ke hidupnya saat ini dimana ia sedang tidur di kamar gelap. Terbangun dengan mata sembab dan merah, badan terasa letih dan mual.

"Mengapa tidak diletakkan di alam mimpi terlebih dulu? Ini masih terlalu pagi!" gerutunya setelah mengetahui masih jam 2 dini hari. Dengan kepala yang sedikit pusing, ia berjalan keluar kamar menuju dapur untuk mengambil air putih. Tenggorokan terasa kering karena terlalu banyak menjerit. Ah itulah yang diperoleh setiap kali menangis.

Kendra mengambil buku catatan dari punggung. Sudah lama ia tidak membukanya hingga tulang rusuk terasa nyeri ketika teratuk sudut buku yang runcing. Wisteria warna-warni yang merambat di tulang belakang sudah menjalar kemana-mana hampir menjejali setiap rongga, saking jarangnya tidak dibuka.

Bbbuuuhhhh!!! Kendra menyeka getah dan lendir di buku usang warna hitam. Buku bersampul kulit kerbau, berisi kertas kuning gading yang bertuliskan ringkasan percakapan suci. Kali ini Kendra menulis dengan sangat hati-hati. Keindahan setiap huruf dilakukan dengan detail. Tulisan itu diakhiri dengan sepercik air mata yang tadi dikumpulkan melalui cawan kecil.

Kendra yang memohon hadiah

Begitulah kalimat pungkasannya. Lalu ia menyimpan kembali buku itu ke dalam punggung. Sebelum menguncinya rapat-rapat, jari-jarinya meraba seluruh rongga tubuh untuk mengambil jelaga yang bergelantungan dimana-mana. Satu windu sudah rongga tubuh itu terkunci, kini terbuka lalu tertutup untuk terakhir kalinya.

Hingga matahari terbit, Kendra hanya melamun, membiarkan kepalanya kosong yang terus memantulkan kata-kata "Ini pertemuan terakhir." Sejatinya ia ingin menangis, tetapi matanya diciptakan selalu kering dari air mata. Jika terisak-isak tanpa mengeluarkan air mata sepertinya sangat naif!

Kendra selalu menghindari orang indigo. Jika mereka melihat sosoknya pasti akan mengatakan jika ia makhluk tidak lazim. Kendra memang memiliki aura yang berbeda dan bunga wisteria bergelantungan di sekujur tubuhnya. Kendra tidak pernah mau menanggapi kekepoan anak indigo. Baginya manusia semacam itu sangat menyebalkan.

"Kendra, kamu jadi pindah tempat kerja nih?" tanya Aura sambil memakan cake greentea pandan di hadapan Kendra yang sangat membenci baunya. Beberapa kali Kendra mengoleskan parfum kayu manis ke bawah hidung untuk meredam bau greentea.

"Tentu saja." Kendra menjawab dengan mantap.

Aura menyimpulkan bibir. "Aku tahu kamu mudah mendapatkan pekerjaan, Ken. You're beautiful and smart."

Kendra tertawa terbahak-bahak dalam hati. Cantik? Lewat pantulan kaca di depannya Kendra dapat melihat bayangan asli dirinya berupa perempuan cantik 24 tahun yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi perempuan usia 3000 tahun, bungkuk, bertongkat kayu gaharu, berambut kemerahan, keriput dan bergigi runcing.

"Cokro." Seorang laki-laki usia dua puluhan akhir mengulurkan tangan, tersenyum. Ia yang menerima Kendra untuk bekerja di perusahaan. Tadi pagi HRD sempat bingung dengan kehadiran Kendra yang langsung bertemu dengan Cokro. Kendra mengangguk. Ia menerima jabat tangan Cokro yang dingin.

Cokro tersenyum setelah Kendra keluar dari ruangan. Sedangkan Kendra tidak menaruh banyak perhatian pada Cokro yang sejatinya adalah ular yang tinggal di Kalimantan.

Meski demikian Cokro harus bersyukur sudah dikemas pada manusia yang cakap, tampan dan tinggi. Terlihat dari name tag rupanya ia adalah petinggi di perusahaan. Setidaknya sisik lembab dan lidah panjangnya tidak terlihat secara kasat mata.

"Aku sudah mengamatimu cukup lama." Cokro membuka obrolan malam itu. "Wangimu tercium sampai daratan Kalimantan."

Kendra tersenyum simpul. Sebenarnya ia sudah tahu keberadaan Cokro. Bagaimana tidak, ular sepanjang 150 meter akan mudah terlihat darimanapun. Lucu sekali jika membandingkan apa yang dilihat Kendra sebagai seorang purba abadi dengan Kendra sebagai manusia biasa.

Orang biasa melihat Cokro adalah pemuda gagah, tampan, cerdas, berwibawa dengan kumis samar yang menggoda. Sedangkan di mata Kendra, Cokro adalah ular tua yang berjalan lambat, setiap kali menjalar serpihan tanah berjatuhan dari sisik yang di dalamnya terdapat banyak rumah cacing.

"Sudahlah, jangan melihatku seperti itu!" tegur Cokro.

"Aku tidak bisa menghindarinya."

Cokro menelan ludah. Nenek-nenek di depannya sangat sejuk dan berwibawa. Meski giginya runcing tetapi senyumnya manis. Sungguh penuh keberkatan hidup Kendra yang selalu memiliki perwujudan indah. Sedangkan dirinya pernah menjadi kodok sawah yang harus selalu sigap melindungi diri.

"Aku harus segera pulang."

Cokro tertawa. Kendra seharusnya bisa menghilang atau tinggal dimanapun. "Mengapa harus pulang?" tanyanya.

"Aku berusaha bersikap seperti manusia pada umumnya. Akan terlihat aneh jika aku tiba-tiba menghilang sedangkan di belakang kita orang-orang kepo terus mengawasi sejak tadi pagi."

Cokro tertawa entah itu menyadari dirinya lengah atau terlalu fokus pada Kendra. Orang-orang kepo tadi ternyata adalah rekan kerja baru Kendra yang pasti heran mengapa karyawan baru bisa sedekat itu dengan pimpinan perusahaan. Pasti mereka mengira Kendra bukan gadis baik-baik.

"Kau jangan terlalu menaruh perhatian padaku. Aku lebih suka manusia biasa." Cokro diam. Ia memacu mobil lebih cepat menuju pegunungan sepi terdekat.

Cokro membiarkan dirinya berubah di depan Kendra. Darah mendingin, gerakannya melambat. Lidah sepanjang 2 meter menjulur-julur kesana-kemari, berlendir, membuat Kendra jijik lalu mengalihkan pandangan ke smartphone untuk melihat berita terbaru. Senyumnya menyungging ketika membaca berita tentang hilangnya 5 orang di hutan Kalimantan

"Kau memakan mereka?" tanya Kendra sambil menunjukkan layar hp.

Cokro mengangguk sambil bertepuk tangan untuk dirinya sendiri. Pantas saja tadi pagi mulutnya penuh darah segar disertai kunyahan-kunyahan kecil setiap berhenti berbicara. Itu bukan mengunyah permen karet, akan tetapi Cokro sedang mengunyah tulang segar yang mungil dan imut.

"Aku baru mengenalmu hari ini. Namun aku sudah memiliki banyak hal yang ingin kukatakan padamu," kata Kendra. "Kita sama-sama makhluk tidak lazim di dunia ini, jadi aku merasa memiliki teman."

"Kita tidak dapat berbuat banyak tentang diri kita yang sebenarnya, Kendra. Kalimantan lambat laun akan seperti kota ini." Cokro mendesah. "Memang semakin banyak manusia masuk hutan sebagai makananku tetapi aku semakin tidak aman." Ia kembali mengubah diri, lidahnya menjulur di sekitar wajah Kendra.

"Hentikan! Ini menjijikkan, Cokro."

Cokro kembali menjadi manusia. Ia tertawa terkekeh namun sebentar kemudian raut wajahnya berubah. Menangis. Laki-laki gagah dan tampan itu menangis terduduk. Tangisnya menyayat hati iris sembilu, serupa dengan Kendra ketika bertemu Tuhan. "Sudahlah." Kendra memeluk Cokro agar menjadi lebih tenang.

Cokro bergeming. Ia tetap duduk dengan tatapan kosong ke arah langit timur. Pandangan matanya seakan menggugat semesta bahwa kehidupan terlalu fana. Ingin mengatakan lelah sudah hidup terlalu lama, akan tetapi gelisah dengan hidup yang terlalu pendek.

Lelah dengan hidup yang terlalu lama
Gelisah dengan hidup yang terlalu pendek

Kendra mendesah. Ia membenarkan kalimat Cokro sepenuhnya. Keduanya kini duduk berdampingan serta menikmati diri mereka kembali ke wujud aslinya. Cokro merayap di tanah, mendesis. Sedangkan Kendra duduk menikmati pemandangan malam. Tongkatnya diketukkan ke tanah berbatu sambil bersenandung lirih.

Tiba-tiba Cokro menangis ketika menatap pegunungan curam di depannya. Ia yang awalnya merayap pelan kini menggelepar seperti terkena api. Kendra menarik tangan Cokro agar berdiri. Lelaki perlente itu kini belepotan tanah.

"Aku takut dengan kematian, Kendra. Mengapa setiap yang bernyawa memiliki ketakutan dengan kematian? Mengapa hal itu juga terjadi pada makhluk sepertiku? Aku tidak berhak rasa takut itu."

Kendra tidak menanggapi karena memang tidak ada kalimat penghibur untuk Cokro.

Cokro terus menangisi hidupnya yang sudah pasti akan berakhir setelah kematian nanti. Tidak ada kesempatan baginya untuk bereinkarnasi atau memiliki kehidupan lagi. Inilah kehidupan Cokro untuk terakhir kalinya.

Lelah dengan hidup yang terlalu lama
Gelisah dengan hidup yang terlalu pendek

Kendra menepuk punggung Cokro. Ia sadar meski tidak dapat menghibur tetapi ia lah teman satu-satunya.

"Kau juga akan seperti aku, Kendra," kata Cokro tiba-tiba. "Sebentar lagi."

Deg! Jantung Kendra berdebar-debar. Ia menatap Cokro seolah meminta pertanggung jawaban atas pernyataan yang ia katakan.

"Kau meminta hadiah kan?"

Kendra menjerit sekeras-kerasnya ketika seekor capung merah terbang berdesing di hadapannya. Kendra seolah sedang bercermin. Sosok nenek tua itu sudah musnah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun