"Sudahlah, jangan melihatku seperti itu!" tegur Cokro.
"Aku tidak bisa menghindarinya."
Cokro menelan ludah. Nenek-nenek di depannya sangat sejuk dan berwibawa. Meski giginya runcing tetapi senyumnya manis. Sungguh penuh keberkatan hidup Kendra yang selalu memiliki perwujudan indah. Sedangkan dirinya pernah menjadi kodok sawah yang harus selalu sigap melindungi diri.
"Aku harus segera pulang."
Cokro tertawa. Kendra seharusnya bisa menghilang atau tinggal dimanapun. "Mengapa harus pulang?" tanyanya.
"Aku berusaha bersikap seperti manusia pada umumnya. Akan terlihat aneh jika aku tiba-tiba menghilang sedangkan di belakang kita orang-orang kepo terus mengawasi sejak tadi pagi."
Cokro tertawa entah itu menyadari dirinya lengah atau terlalu fokus pada Kendra. Orang-orang kepo tadi ternyata adalah rekan kerja baru Kendra yang pasti heran mengapa karyawan baru bisa sedekat itu dengan pimpinan perusahaan. Pasti mereka mengira Kendra bukan gadis baik-baik.
"Kau jangan terlalu menaruh perhatian padaku. Aku lebih suka manusia biasa." Cokro diam. Ia memacu mobil lebih cepat menuju pegunungan sepi terdekat.
Cokro membiarkan dirinya berubah di depan Kendra. Darah mendingin, gerakannya melambat. Lidah sepanjang 2 meter menjulur-julur kesana-kemari, berlendir, membuat Kendra jijik lalu mengalihkan pandangan ke smartphone untuk melihat berita terbaru. Senyumnya menyungging ketika membaca berita tentang hilangnya 5 orang di hutan Kalimantan
"Kau memakan mereka?" tanya Kendra sambil menunjukkan layar hp.
Cokro mengangguk sambil bertepuk tangan untuk dirinya sendiri. Pantas saja tadi pagi mulutnya penuh darah segar disertai kunyahan-kunyahan kecil setiap berhenti berbicara. Itu bukan mengunyah permen karet, akan tetapi Cokro sedang mengunyah tulang segar yang mungil dan imut.