"Aku takut! Aku takut dimangsa burung elang. Elang itu jahat!" lanjut Raisya dengan suara yang lebih keras.
"Tidak! Aku tidak jahat seperti yang penduduk sini katakan!" jawab Pak Elang singkat.
"Semua berkata begitu, burung elang itu jahat," lanjut Raisya.
"Ok! Kita main saja yuk! Kita terbang mengelilingi padang ilalang ini. Tapi kita harus makan dulu," kata Pak Elang yang berusaha tidak menghiraukan keluhan takutnya Raisya.
"Aku mau bawa pulang perahu mainan dan tikar mainan ini," lanjut Raisya dengan suara pelan.
Akil lalu mencari daun jati besar, kemudian dibentuk kotak persegi menyerupai besek. Di setiap tepian kotak daun jati tersebut disatukan dengan lidi, sisa dari pembuatan perahu mainan tadi. Kemudian membuat kotak daun jati satu lagi untuk membuat tutup. Setelah selesai, Akil mencari tali panjang dari pohon pisang kering, untuk diikatkan kepada kotak daun jati tersebut.
"Raisya, masukkan semua perahu mainan dan anyaman tikar mainan itu ke dalam kotak daun jati ini. Setelah selesai, aku tutup. Lalu aku ikat dengan tali ini. Supaya saat kita terbang bersama Paman Elang nanti, perahu mainan dan anyaman tikar mainan tidak akan tumpah," kata Akil dengan lihai.
Pak Elang selalu memuji Akil yang cerdas dan bisa menyembunyikan rasa kesedihannya saat ini. Pak Elang yakin, jika saat ini Akil sedang sedih dan kecewa karena belum juga bertemu dengan keluarganya.
"Akil! Raisya! Ayo makan yang banyak. Habiskan semua buah yang sudah aku kumpulkan ini," kata Pak Elang kepada Akil dan Raisya dengan penuh kasih sayang.
Raisya kini mulai mempelajari tentang Pak Elang. Tidak begitu tegang lagi, tetapi masih waspada. Waspada itu adalah pesan dari orang tuanya ketika bertemu burung elang.
Bersambung...Â
Ditulis oleh Lina WH