Mohon tunggu...
Lina Noviandari
Lina Noviandari Mohon Tunggu... -

an observer of life

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seandai

13 Januari 2014   17:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Surat ini saya tujukan kepada kamu.

Kamu.

Sudah lama saya ingin mengatakan ini pada kamu. Iya kamu.

Kepada siapa saya menghabiskan waktu untuk hitungan tahun, kepada siapa saya membuat kenangan bersama. Kemudian saya simpan, mungkin lupakan di suatu masa. Saya tidak tahu pasti.

Sudah lama saya ingin mengatakan ini. Tepat di ujung temu, saya mulai mengerti kenapa mereka tak henti nya  membicarakan satu kata yang tak pernah hilang dari peradaban manusia, cinta.

Saya cinta kamu.

Keberuntungan ataukah kemalangan, saya tak tahu.

Kisahnya, beberapa tahun ini kita bersama. Suka dan duka itu relatif. Mana yang lebih banyak, saya tak bisa terka. Bagi saya yang pengecut, memiliki kamu adalah dunia. Tapi kenyataan bilang, saya tak mengalami sebuah punya. Mungkin belum, saya tak tahu. Bahkan dengan menulis ‘belum’, saya terkesan mengharap. Yang bahkan saya tak akan elak, iya.

Saya masih berharap kita bertemu kembali. Saya masih berharap kita membuat kenangan bersama lagi. Berjalan di bawah lampu temaram. Terjaga di sudut malam. Saling mewarnai hati yang kelam. Menguatkan di kehidupan yang kejam.

Saya mencintai kamu.

Saya mengakui ini. Saya berharap kamu mafhum dengan kondisi saya, sebagaimana saya mafhum perihal kamu. Seharusnya saya berujar ini kala dulu. Saya tak pernah tahu jika pada akhirnya ujung temu sedekat itu. Segelap itu.

Bagi saya yang terbiasa mengamati dan mengerti mereka, luput mengerti kamu membuat merahnya wajah. Saya tak pernah mengerti kamu. Dan kemudian saya juga simpulkan, kamu tak mengerti saya.

Saya menulis surat ini dengan harapan kamu tahu perasaan saya yang sebenarnya.

Dulu, dulu sekali, saya tak pernah menyangka dinding yang saya bangun bertahun-tahun akan runtuh. Saya masih sangat meyakini hal tersebut, sampai akhirnya saya bertemu kamu. Sampai akhirnya bukan hanya dinding, kamu menghancurkan seluruh rangka. Hingga akhirnya saya tidak punya apa-apa, saya tidak punya tempat berteduh, selain kamu.

Saya masih tidak tahu, ini keberuntungan atau kemalangan.

***

................bersambung kiranya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun