Bagi saya yang terbiasa mengamati dan mengerti mereka, luput mengerti kamu membuat merahnya wajah. Saya tak pernah mengerti kamu. Dan kemudian saya juga simpulkan, kamu tak mengerti saya.
Saya menulis surat ini dengan harapan kamu tahu perasaan saya yang sebenarnya.
Dulu, dulu sekali, saya tak pernah menyangka dinding yang saya bangun bertahun-tahun akan runtuh. Saya masih sangat meyakini hal tersebut, sampai akhirnya saya bertemu kamu. Sampai akhirnya bukan hanya dinding, kamu menghancurkan seluruh rangka. Hingga akhirnya saya tidak punya apa-apa, saya tidak punya tempat berteduh, selain kamu.
Saya masih tidak tahu, ini keberuntungan atau kemalangan.
***
................bersambung kiranya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H