Mohon tunggu...
Lina Wati
Lina Wati Mohon Tunggu... Lainnya - S1 Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Respon Kebijakan BI: Rupiah Mulai Terdepresiasi di Tengah Pandemi Covid-19

1 April 2020   12:01 Diperbarui: 1 April 2020   12:06 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sulit membayangkan memang, bagaimana dunia telah sakit karena virus ini. bahkan, tidak hanya dunia, tetapi perekonomian. Bagaimana semua negara bersatu untuk melawannya, penyakit yang akan menggerogoti ekonomi dan kesehatan. Pencegahan telah dilakukan baik dari aspek kemanusiaan, kesehatan serta koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang dilakukan secara global guna meredam dampak gigitan virus ini terhadap dunia.

Hal ini menyebabkan Bank Indonesia kembali menurunkan BI 7 Day Reserve  Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin sehingga menjadi 4,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar basis poin sehingga menjadi 3,75% serta suku bunga Lending Facility sebesar 25 basis poin sehingga menjadi 5,25%. Kebijakan ini dilakukan agar terjaganya stabilitas makro dan sistem keuangan.

Kebijakan pemangkasan tingkat suku bunga dinilai memang sangat tepat, terlebih lagi pemangkasan tingkat suku bunga sejalan dengan kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah yaitu melalui UU omnibuslaw perpajakan dan cipta kerja, diharapakan dengan adanya kebijakan moneter dan fiskal ini dapat memitigasi dampak covid-19 yang semakin menggerogoti perekonomian Indonesia.

Covid-19 telah menimbukan kepanikan masyarakat yang luar biasa, bagimana tidak "rupiah saat ini terdepresiasi hingga menembus Rp 16.000".

Untuk meredam kepanikan masyarakat ini, BI telah menyampaikan di Rapat Dewan Gubernur BI pada 19/03/2020. Bank Indonesia telah mengambil kebijakan dengan memperkuat intensitas kebijakan triple intervention yaitu melalui pasar spot, domestic Non-deliverable Forward (DNDF), serta pembelian SBN di pasar sekunder. Kebijakan Bank Indonesia ini dilakukan agar tetap terjaganya stabilitas nilai rupiah.

Dalam menjaga stabilitas nilai rupiah, selain melalui triple intervention, BI juga mempercepat berlakunya penggunaan rekening rupiah dalam negeri (Vostro) bagi investor asing sebagai underlying transaksi dalam transaksi DNDF sehingga mendorong perlindungan nilai atas kepemilikan rupiah serta mendukung gerakan non tunai untuk kegiatan sosial pemerintah seperti bantuan pkh, kartu pra kerja, kip kuliah dll. Dengan kebijakan kebijakan BI untuk memperbanyak penggunaan rupiah diharapkan stabilitas nilai rupiah akan terjaga.

Melemahnya nilai rupiah juga mengakibatkan capital outflow semakin tinggi.

Investor global kini sedang mengalami tekanan ketidakpastian di tengah tengah pandemi ini. Premi resiko meningkat dengan sangat tinggi, investor merasa bahwa asetnya baik saham maupun SPN sedang tidak aman, apalagi dengan nilai rupiah yang semakin melemah. Para investor memilih untuk memindahkan asetnya ke aset yang lebih aman seperti emas, hal ini lah yang mengakibatkan premi resiko semakin tinggi.

Dalam menghadapi capital outflow yang semakin tinggi, Bank Indonesia telah memastikan mekanisme pasar dan menjaga kecukupan likuiditas.  Bank Indonesia juga akan terus memantau nilai tukar di pasar baik melalui broker maupun interbank. Sehinga stabilitas nilai tukar rupiah tetap terus dipantau.

Implementasi berbagai kebijakan Bank Indonesia untuk tetap menjaga nilai tukar rupiah harus segera terasa. Transmisi kebijakan BI harus segera di respon oleh para pelaku pelaku ekonomi dengan cepat. Terlebih perbankan dalam menanggapi penurunan tingkat suku bunga, perbankan mungkin harus bank harus rearrange incentive yang harus diberikan kepada nasabah. Tetapi, perbankan juga harus melakukan tindakan penyesuaian artinya bank juga harus berpikir 2 sisi, mengikuti kebijakan BI dan satu sisi juga tidak terlalu merugikan nasabah.

Pada siaran pers perkembangan perekonomian terkini pada tanggal 27/03/2020 BI menyampaikan bahwa perkembangan nilai tukar cukup stabil . Nilai  rupiah menguat dan diperdagangkan di sekitar Rp16.250. Bank Indonesia juga telah melakukan kebijakan interventionnya dengan melakukan pembelian SBN di pasar sekunder hingga mencapai Rp 168,2 trilliun (ytd). BI juga menyampaikan inflasi pada bulan Maret sebesar 0,78% (ytd) atau 2,98% (yoy), aliran modal asing sudah mulai membaik dimana total outflow mencapai Rp 152,2 Trilliun (ytd), serta Bi juga telah menginjeksi likuiditas sebesar Rp 300 trilliun.

Perkembangan perekonomian yang disampaikan BI telah menunjukkan semakin membaikknya perekonomian. Hal ini dikarenakan bahwa kebijakan kebijakan BI telah direspon dengan cepat oleh masyarakat, sehingga mengakibatkan kembalinya kepercayaan masyarakat bahwa ekonomi akan terus membaik.

Semakin memperburuknya nilai tukar rupiah, banyak masyarakat yang mengkhawatirkan akan terjadinya krisi keuangan global pada tahun 2008 dan krisis moneter asia pada tahun 1998. Tetapi, kondisi saat ini sangat berbeda, kondisi sekarang karena bersumber dari aspek kemanusiaan karena Covid-19 ini menyerang kesehatan manusia.

Manusia merupakan salah satu sumber daya dalam faktor produksi, ketika sumber daya yang digunakan dalam produksi melemah maka perekonomian juga akan melemah. Bahkan, hal yang paling mengkhawatirkan adalah virus ini menyebar, sehingga memaksa semua aktivitas manusia untuk bersosialisasi harus diminimalisir untuk menghentikan penyebarannya.

Covid-19 telah menyerang sektor ekonomi, sektor keuangan bahkan pelaku ekonomi itu sendiri. Sehingga, perdagangan luar negeri terhambat, produksi dalam negeri terhambat. Sedangkan, dalam menghadapi kondisi seperti ini ditengah tengah social distancing, masyarakat harus menjaga jarak, bahkan berdiam diri di rumah. Konsumsi masyarakat menurun, sehingga akan lebih memperburuk pertumbuhan perekonomian. karena, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian besar masih di topang oleh konsumsi.

Dampak  pelemahan rupiah terhadap inflasi masing minimal. Dengan berbagai kebijakan yang dilakukan Bank indonesia serta para otoritas terkait. Mereka masih bisa menjaga inflasi tetap terkendali karena tersedianya pasokan uang yang cukup, kesenjangan output masih negatif, kredibilitas moneter terus menjaga stabilitas harga, dan pelemahan rupiah saat ini terjadi karena kepanikan global.

Michael Levitt pemenang Hadiah Nobel Kimia tahun 2013 berpendapat bahwa wabah covid-19 yang telah membuat seluruh dunia terhenti ini akan segera mereda. Beliau telah melakukan analisis di 78 negara yang melaporkan lebih dari 50 kasus covid-19 mengatakan bahwa beliau melihat tanda tanda pemulihan.

Analisis ini dilakukan dengan mempelajari angka angka pada 1 Februari, dengan menghitung jumlah kematian yang dilaporkan setiap hari di Tiongkok. Beliau mengatakan pertumbuhan eksponensial hanya terlihat sampai tanggal 6 Februari dan setelahnya infeksi mulai menurun dan tidak berhenti. Bahkan Michael Levitt memperkirakan Tiongkok akan segera terbebas dari Covid-19 pada akhir Maret 2020.

Michael Levitt, juga mengatakan bahwa setiap negara harus tetap menjaga Social distancing atau jarak sosial untuk menghentikan wabah ini terus menyebar.

Rupiah Akan Segera Membaik.

Ulasan

Saya percaya bahwa rupiah akan kembali mengungat dengan catatan bahwa social distancing harus tetap terjaga dengan baik. Kita tahu, bahwa Covid-19 ini menyerang kesehatan manusia hingga menyebabkan kita harus menghindari interaksi dengan orang lain. Saya membaca dari sebuah tulisan Joshua Gans yang berjudul:  Health Before Wealth: The Economic Logic, disini dia berpendapat bahwa di masa normal mungkin kita bisa memilih antara kesehatan atau ekonomi, tetapi dalam masa seperti ini, dimana covid-19 telah menyebar mengakibatkan terjadinya gigitan pada kurva PPF. Sehingga pilihan kita untuk memilih antara kesehatan atau ekonomi lebih sedikit.

Semakin banyak kita memilih kesehatan maka kita akan mendapatkan sedikit ekonomi, begitu juga sebaliknya semakin banyak kita memilih ekonomi maka akan mendapat sedikit kesehatan.

Tetapi, di tengah tengah pandemi seperti ini, sepertinya pilihan kesehatan menjadi priorotas yang paling banyak dipilih. Bagimana tidak?, kita membutuhkan sumber daya manusia untuk memperbaiki perekonomian, kita juga membutuhkan interaksi sosial untuk melakukan transaksi. Kita hanya akan memimpikan itu jika kita tidak segera menghentikan penyebaran covid-19 ini.

Kebingungan pemerintah dan masyarakan akan pilihan antara ekonomi dan kesehatan tidak konstan, pada titik awal kita akan memilih kesehatan , tetapi pilihan  ini tidak akan bertahan lama. Masyarakat akan bosan di rumah, atau masyarakat akan mulai kehabisan saving. Sehingga menuntut mereka untuk melakukan interaksi lagi. Hal ini yang mengakibatkan penyebaran covid-19 akan mulai meningkat disaat mereda karena pilihan awal.

Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk menghentikan penyebaran ini, mulai dari rapid test, penyediaan fasilitas kesehatan, menerapkan kebijakan social distancing. Tindakan ini harus di respon baik oleh masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat harus mematuhi kebijakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Sehingga dengan adanya sinergi yang baik antara masyarakat, pemerintah dan Bank Sentral akan mempercepat upaya memitigasi penyebaran wabah ini. Sehingga, dalam jangka pendek jika sinergi antara ketiga pihak ini berjalan konsisten maka perekonomian akan membaik dan nilai tukar akan kembali menguat. Karena dunia dalam keadaan "Baik baik saja".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun