Dia mungkin merasa bahwa sekolah akan menjadikanku hebat, jadi tak perlu bertenun. Mungkin bagi opungku, orang yang masuk sekolah dan bisa baca itu sudah hebat dan pasti akan berhasil sukses dalam hidupnya.Â
Apa betul begitu? Apa betul orang yang pernah sekolah dan bisa membaca menjadi sukses dalam hidupnya? Nggak! Banyak yang nganggur walau sudah sarjana kan. Seorang sarjana sudah berapa lama berada di bangku sekolah? SD-SMP-SMA-PT, itu sekitar 17 tahun!Â
Setelah 17 tahun, mayoritas ternyata hanya berakhir menjadi budak bagi orang lain, menunggu dan berharap panggilan kerja, melamar kerja dengan gaji bervariasi.Â
Setelah 17 tahun masuk sekolah, tidak dihitung masa TK, ternyata yang mayoritas sarjana ini hanya mengharapkan bekerja pada orang lain dan menerima gaji dari orang lain atau lembaga-lembaga tertentu. Intinya, bahasa kasarnya, menjadi budak.
Para budak ini bergantung pada gaji dari orang lain, dari lembaga-lembaga yang mempekerjakannya. Rawan. Konon, seorang PNS sekarang ini nggak bisa lagi suka-sukanya seperti di masa lalu? PNS konon sudah bisa dipecat kalau macam-macam, tidak tunduk pada aturan-aturan yang harus diikutinya.Â
Masih juga ada berbagai macam penipuan. Kalau guru, masih ada yang datang finger, pulang meninggalkan sekolah. Datang lagi, finger....! Adduh! Mental budak penipu!Â
Opungku, kedua opungku dari pihak bapak bukan hanya tidak bisa membaca buku tetapi nggak bisa nulis malah. Kalau surat datang dari anak-anak mereka di rantau, aku yang baca dan balas, aku jadi juru tulis mereka, sejak aku SD aku sudah jadi juru baca dan juru tulis, dan tukang edit surat.Â
Opungku yang buta huruf menurutku tak kekurangan apapun secara ekonomi. Opungku yang perempuan punya kemampuan bertenun yang super. Opungku yang laki-laki adalah Raja Parhata (Tetua yang Memimpin Jalannya Acara Adat, Ritual Adat dan Pertemuan Keluarga --- biasanya anak laki-laki paling tua dalam masyarakat Batak secara otomatis menjalankan peran ini terutama sejak mereka sudah menikah).Â
Mereka mempunyai banyak kerbau, sebagian dipelihara oleh orang lain. Hasil ladang mereka tidak pernah kosong. Mereka mandiri. Plus, sepanjang yang aku amati, mereka bahkan tak bergantung pada produk-produk pertanian modern yang serba kimia dan obat-obatan berbahaya bagi tanah, lingkungan, alam dan manusia itu. Â
Opungku mempunyai 10 orang anak dan sebagian dari mereka ini pergi sekolah dan merantau jauh dari kampung halaman.Â
Entah apa yang terjadi, aku amati lagi, walau anak-anak opungku ini masuk dalam kancah literasi, sekolah dan sebagian menjadi pegawai dan militer, kenapa usia mereka malah lebih pendek daripada kedua orang tua mereka? Ada apa? Literasi dan status sosial mereka yang berbeda dari orang tua kok malah memperpendek usia mereka? Â Aduh, kok bisa begitu? Aku heran! Aku heran! Kenapa usia anak-anak opungku jadi lebih pendek daripada usia opungku? Aku heran!