Yang 999 Lagi Ngapain?Â
Perasaanku setelah mengetahui bahwa hanya ada 1 di antara 1000 warga negara Indonesia yang membaca berdasarkan berbagai macam survei sebagaimana digambarkan oleh salah satu Kompasianer: tenang-tenang saja sebab aku kira, yang 999 dari 1000 orang itu punya kegiatan yang berbeda-beda selain membaca. Bisa saja yang 999 ini mempunyai 999 jenis kegiatan yang berbeda dari membaca kan. Misal: menari, berjalan, memasak, bertenun, menggembalakan ternak, berkebun, melukis, memanjat, berlari,...dst.
Membaca itu apakah memang tradisi manusia Indonesia sejak dulu? Di Tanah Batak, setahuku, tradisi membaca itu hanya di kalangan tertentu saja, tradisi menulis juga begitu. Setelah para misionaris dan pemerintah Belanda merangsek masuk ke Tanah Batak, sekolah-sekolah mulai berdiri.Â
Anak-anak mulai dibujuk bahkan dipaksa untuk masuk sekolah setelah periode bahwa yang boleh masuk sekolah hanya anak-anak tertentu yang punya keistimewaan karena orang tua mereka bekerja pada Belanda atau badan misi Kristen.Â
Apakah ada jaminan bahwa membaca itu akan menjadikan seorang manusia menjadi manusia sejati? Kesan yang muncul ketika Indonesia masuk peringkat rendah dalam hal membaca menggiring kita ke sikap apatis seolah itu sebuah bencana. Apa betul begitu?
Bisa Membaca Bukan Jaminan Hidup Orang Terjamin
Kadang aku geli sendiri kalau merenungkan apa yang kulihat dan kualami. Contoh ya: kedua orang tua bapakku di Pulau Samosir nggak bisa baca tulis. Kata orang sekarang, buta huruf.Â
Opungku yang perempuan piawai bertenun ulos Batak, jenis-jenis ulos yang proses pembuatannya rumit dan memerlukan kesabaran tinggi serta keahlian super.Â
Sejak kecil si Opung Boru ini sudah berlatih bertenun di teras luar rumah adat Batak Toba di pulau itu. Hingga beliau berusia lanjut, masih bertenun. Aku masih menyaksikan bagaimana opungku ini meramu berbagai macam dedaunan di sekitar untuk membuat pewarna untuk ulos tenunannya.
Aneh. Aku kok nggak dilatih opungku bertenun? Aku heran setelah aku dewasa kenapa aku tidak tahu bertenun seperti opungku. Bisa jadi, opungku merasa, aku tak perlu bertenun karena aku sekolah.Â
Dia mungkin merasa bahwa sekolah akan menjadikanku hebat, jadi tak perlu bertenun. Mungkin bagi opungku, orang yang masuk sekolah dan bisa baca itu sudah hebat dan pasti akan berhasil sukses dalam hidupnya.Â
Apa betul begitu? Apa betul orang yang pernah sekolah dan bisa membaca menjadi sukses dalam hidupnya? Nggak! Banyak yang nganggur walau sudah sarjana kan. Seorang sarjana sudah berapa lama berada di bangku sekolah? SD-SMP-SMA-PT, itu sekitar 17 tahun!Â
Setelah 17 tahun, mayoritas ternyata hanya berakhir menjadi budak bagi orang lain, menunggu dan berharap panggilan kerja, melamar kerja dengan gaji bervariasi.Â
Setelah 17 tahun masuk sekolah, tidak dihitung masa TK, ternyata yang mayoritas sarjana ini hanya mengharapkan bekerja pada orang lain dan menerima gaji dari orang lain atau lembaga-lembaga tertentu. Intinya, bahasa kasarnya, menjadi budak.
Para budak ini bergantung pada gaji dari orang lain, dari lembaga-lembaga yang mempekerjakannya. Rawan. Konon, seorang PNS sekarang ini nggak bisa lagi suka-sukanya seperti di masa lalu? PNS konon sudah bisa dipecat kalau macam-macam, tidak tunduk pada aturan-aturan yang harus diikutinya.Â
Masih juga ada berbagai macam penipuan. Kalau guru, masih ada yang datang finger, pulang meninggalkan sekolah. Datang lagi, finger....! Adduh! Mental budak penipu!Â
Opungku, kedua opungku dari pihak bapak bukan hanya tidak bisa membaca buku tetapi nggak bisa nulis malah. Kalau surat datang dari anak-anak mereka di rantau, aku yang baca dan balas, aku jadi juru tulis mereka, sejak aku SD aku sudah jadi juru baca dan juru tulis, dan tukang edit surat.Â
Opungku yang buta huruf menurutku tak kekurangan apapun secara ekonomi. Opungku yang perempuan punya kemampuan bertenun yang super. Opungku yang laki-laki adalah Raja Parhata (Tetua yang Memimpin Jalannya Acara Adat, Ritual Adat dan Pertemuan Keluarga --- biasanya anak laki-laki paling tua dalam masyarakat Batak secara otomatis menjalankan peran ini terutama sejak mereka sudah menikah).Â
Mereka mempunyai banyak kerbau, sebagian dipelihara oleh orang lain. Hasil ladang mereka tidak pernah kosong. Mereka mandiri. Plus, sepanjang yang aku amati, mereka bahkan tak bergantung pada produk-produk pertanian modern yang serba kimia dan obat-obatan berbahaya bagi tanah, lingkungan, alam dan manusia itu. Â
Opungku mempunyai 10 orang anak dan sebagian dari mereka ini pergi sekolah dan merantau jauh dari kampung halaman.Â
Entah apa yang terjadi, aku amati lagi, walau anak-anak opungku ini masuk dalam kancah literasi, sekolah dan sebagian menjadi pegawai dan militer, kenapa usia mereka malah lebih pendek daripada kedua orang tua mereka? Ada apa? Literasi dan status sosial mereka yang berbeda dari orang tua kok malah memperpendek usia mereka? Â Aduh, kok bisa begitu? Aku heran! Aku heran! Kenapa usia anak-anak opungku jadi lebih pendek daripada usia opungku? Aku heran!
Tak lama setelah pensiun, meninggal, bahkan, belum pensiun sudah sakit dan meninggal. Kenapa? Kedua orang tua mereka tidak kenal istilah pensiun dan bisa hidup dan masih bekerja sampai usia tua. Anak-anak mereka sebagian kok sudah bermatian pada usia bahkan sebelum usia pensiun? Aku juga heran, di zaman literasi, seorang manusia hanya dihargai sampai usia 58 dan 60? Â Setelah itu sebagian memasuki fase/ periode post-power-syndrom kalau belum check-out?
Ibunya opungku yang laki-laki usianya 105 tahun pada saat ia meninggal. Heran, kenapa usia cucunya, misalnya, yang sudah bisa baca tulis, yang sudah mengecap sekolah sampai perguruan tinggi dan menjadi pegawai negeri malah nggak bisa sampai 60 tahun? Kukira fenomena macam ini bisa terjadi di banyak tempat bukan hanya di Indonesia ini?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H