Mohon tunggu...
Limantina Sihaloho
Limantina Sihaloho Mohon Tunggu... Petani - Pecinta Kehidupan

Di samping senang menulis, saya senang berkebun, memasak (menu vegetarian), keluar masuk kampung atau hutan, dan bersepeda ontels.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Untuk Para Dokter, Depkes dan Bea Cukai di Indonesia

29 Oktober 2009   17:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:29 1669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Senin di awal minggu ini, adek perempuan saya menunjukkan Kompas hl.7 pada saya di mana terdapat surat dari Annie M Bratakusuma berjudul: Obat Leukemia Tertahan di Bea dan Cukai.

Perasaan saya mendidih membaca isi surat itu yang berisi bagaimana Ibu Ai Rukiah dan beberapa pasien penderita leukemia lainnya tidak bisa memperoleh GLIVEC sejak bulan Agustus 2009 lewat Yayasan Kanker Indonesia (YKI) di Sunter Jakarta. Ibu Ai Rukiah didiagnosis oleh dokter di RS Hasan Sadikin Bandung positif menderita chronic myelogenous leukaemia (CML). Penderita CML boleh meminum tablet glivec-imatinib sesuai resep dokter.

Leukemia itu sejenis kanker-darah yang kalau penderitanya tidak memperoleh perawatan yang tepat dan ketat bisa berakibat fatal. Kondisi darah mereka tidak seperti orang normal; mereka biasanya pucat, mudah lelah dan gampan stress serta bisa sangat sensitif.

Ibu Ai Rukiah seperti yang disebutkan oleh Annie dapat memperoleh glivec pada tiga bulan pertama dengan lancar dari YKI tetapi setelah itu tidak lagi. YKI menjelaskan bahwa obat itu tertahan di bea cukai.

PENGALAMAN

Adek saya yang menunjukkan surat Annie yang saya maksud di awal tulisan ini menderita leukemia persis jenis yang sama dengan Ibu Ai Rukiah. Adek saya dipastikan menderita leukemia di RS Elisabeth Medan Oktober tahun lalu. Jadi saya bisa bayangkan bagaimana rasanya menjadi Ibu Ai Rukiah termasuk bagaimana rasanya menjadi anggota keluarganya. Kalau Anda punya anggota keluarga yang pernah atau sedang menderita kanker jenis apa saja dan apalagi Anda yang merawat, saya kira Anda akan lebih mudah mengerti apa yang saya maksud sebab saya tidak yakin apakah saya mampu mengungkapkan perasaan ini dalam bentuk kata-kata tertulis di sini.

Kalau proses pengobatan berjalan lancar sejak seseorang didiagnosis kena kanker, lancar dalam arti ada cukup informasi, rumah sakit yang bagus, dan tentu saja dukungan dana dari keluarga dan handai taulan, keadaan ini akan sangat membantu pasien dan keluarganya. Begitupun, terutama pada beberapa bulan pertama, hati dan pikiran bisa sangat galau. Saya masih ingat bagaimana keadaan saya begitu mengetahui dari dokter di RS Elisabeth bahwa adek saya kena leukemia. Tak terkatakanlah. Pada waktu itu, karena belum pernah secara langsung berhadapan dan mengurus orang yang kena kanker, saya punya pengetahuan terbatas soal leukemia. Yang saya tahu itu penyakit yang menyeramkan. Anak perempuan paman saya persis seusia dengan adek perempuan saya meninggal pada usia 4 tahun karena leukemia. Itu sudah 20 tahun yang lalu. Saya langsung ingat sepupu saya itu dan saya kira adek saya juga begitu dokter mengatakan bahwa adek saya kena leukemia.

Saya waktu itu berhapar dokter itu tidak mengatakan secara langsung di depan adek saya bahwa dia kena leukemia tapi tak bisa saya halangi karena sudah terlanjur. Dokter itu mungkin karena terlalu banyak bekerja, nampak lelah. Dia berusaha menenangkan adek saya dengan mengatakan, "Tenang ya. Tenang!" Lalu mengatakan bahwa adek saya kena leukemia jenis chronic. Kami begitu dengar kata kronik saja sudah sangat panik. Baru setelah saya search lewat google tentang leukemia dan jenis-jenisnya, saya bisa merasa lebih tenang.

Dokter di RS Elisabeth hanya bisa memprediksi bahwa adek saya kena leukemia jenis CML. Untuk memastikan secara akurat, tidak ada cukup alat di rumah sakit ini. Saya bertanya kepada dokter itu ke mana kami sebaiknya pergi dan meminta di mana rumah sakit yang bagus yang bisa menolong adek saya. Dokter di RS ini lalu menganjurkan kami pergi ke Penang.

Jantung saya berdegub-degub membayangkan proses yang akan terjadi termasuk biaya pengobatan yang saya belum tahu berapa dan sebagian harus dari mana. Nurani saya mengatakan saya harus melakukan yang paling baik. Saya yakin kalau Anda berada di posisi saya, Anda pun akan melakukan hal yang sama. Adek saya tak punya ansuransi kesehatan, dia baru selesai kuliah di salah satu universitas negeri di Medan. Nanti, setelah saya mulai mengurus sebuah ansuransi kesehatan untuk adek saya, mereka bilang tidak bisa karena sudah ada leukemianya. Alamaaak! Kejam nian!

Adek saya beruntung, kami beruntung. Pertama dan terutama karena dokter yang menanganinya adalah seorang dokter yang hebat. Ada hal-hal sederhana yang membuat kami mengatakan bahwa dokter itu hebat. Terutama pada awal-awal pengobatan dokter itu mengatakan: "Jangan kuatir!" Lain kali, "Jangan pusingkan soal ini; kalau semua orang diperiksa, ada saja penyakit setiap orang. Adek hanya punya satu jenis penyakit ini, jadi kita fokus untuk mengobatinya." Di pertemuan yang lain, dokter ini pernah mengatakan pada saya, "You are a great sister!" Pujian semacam itu sangat berguna, mampu merontokkan rasa lelah dan kuatir yang menggumpal.

Orang sakit itu sensitif, mereka bisa lebih memikirkan dari mana uang untuk berobat daripada anggota keluarganya yang lebih mengkuatirkan soal penyakitnya. Adek saya begitu. Jadi sekali waktu saya mengatakan padanya, di dalam pesawat dalam perjalanan pulang dari Penang: "Jangan kuatir soal uang, akan selalu ada jalan! Tuhan akan tolong!" Terbukti itu benar.

Kami menerapkan disiplin baru: olahraga setiap hari, makan makanan yang sehat, boleh makan daging sekali-sekali. Setiap hari minum jus buah-buahan. Berusaha optimis. Pada beberapa bulan pertama, adek memperoleh dukungan dari banyak pihak. Seorang pendeta senior yang merupakan seorang konselor sewaktu-waktu bersedia kami telepon untuk menolong dan menguatkan adek saya secara psikologis dan spiritual. Betul bahwa dukungan keluarga dan lingkungan sangat berarti pada proses penyembuhan terutama bagi mereka penderita kanker.

APA YANG BISA KITA LAKUKAN?

Sesuai permintaan dokter dan juga penegasan dari staff kantor perwakilan The Max Foundation di Kuala Lumpur, adek saya musti minum tablet glivec-imatinib-nya pada waktu waktu yang sama setiap hari, kalau pun ada selisih waktu, tidak boleh lebih dari satu jam. Selain dokter telah memberitahukan hal ini, staff The Max Foundation masih perlu menelpon kami dan memberi penjelasan detil mengapa harus begitu. Tablet ini berfungsi untuk menormalkan komposisi darah dan kalau tidak disiplin mengonsumsinya, bisa berakibat formasi darah lalu terganggu, tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Jadi saya bisa bayangkan apa yang bisa terjadi pada seorang pasien CML seperti Ibu Ai Rukiah; minum tablet glivec selama tiga bulan lalu tidak lagi setelah Agustus tahun ini. Mudah-mudahan setelah surat Annie muncul di Kompas, pihak-pihak terkait segera mengeluarkan obat itu dari bea dan cukai.

Bandung - Jakarta itu jauh kan! Belum lagi Jakarta macet. Saya tidak habis pikir mengapa pasien CML di Bandung tidak memperoleh glivec di Bandung saja toh ia menjalani pemeriksaan di RS Hasan Sadikin Bandung. Mengapa kok sistem di negeri ini senang kali membikin orang repot, lelah dan frustrasi? Tidak bisakah dokter-dokter terkait di negeri ini memperjuangkan kepentingan pasien-pasien mereka macam Ibu Ai Rukiah itu?

YKI juga tidak pro-pasien dan tidak sensitif. Mengapa pasien dari luar Jakarta harus mengambil obat seperti glivec-imatinib itu ke YKI? Apa susahnya berkoordinasi dengan rumah-rumah sakit yang menangangi para pasien kanker sehingga para pasien bisa menerima obatnya di rumah sakit terdekat di mana dia menjalani diagnosis dan pemeriksaan reguler. Oh ya, pasien kanker harus mengunjungi dokter mereka secara reguler. Pada bagian awal akan ada pemeriksaan darah rutin, bisa setiap minggu untuk melihat hasil kerja obat. Kalau membaik, pemeriksaan darah menjadi per dua minggu, lalu per bulan, lalu per dua bulan, lalu per tiga bulan. Tergantung bagaimana kondisi pasien.

Rumah sakit di Penang mempunyai sistem yang efektif. Kami mengaplikasi untuk memperoleh glivec bagi adek perempuan saya lewat rumah sakit dan menerima glivec itu di rumah sakit yang sama. Rumah sakit berkoordinasi dengan The Max Foundation. Ada komunikasi terus-menerus termasuk antara The Max Foundation dengan pasien dan keluarganya baik lewat kantor perwakilan mereka di Kuala Lumpur maupun lewat kantor pusatnya di Amerika.

Glivec itu sangat mahal dan tidak untuk diperjualbelikan tetapi saya dengar sebagian pasien di Indonesia harus beli. Ini terjadi di Medan. Seorang pasien harus mengeluarkan uang sekitar Rp. 20.000.000 per bulan untuk membeli glivec. Anda bisa bayangkan siapa yang mampu beli obat semahal ini untuk seumur hidup.

Glivec merupakan hasil kerja sama antara The Max Foundation dengan Novartis. The Max Foundation didirikan untuk mengenang seeorang remaja, Maximiliano (Max) Rivarola asal Buenos Aires yang meninggal di Amerika pada usia 17 tahun setelah 3 tahun berjuang melawan CML. Orang tua dan kerabat serta beberapa dokter mendirikan lembaga yang membantu para pasien leukemia terutama CML di seluruh dunia khususnya di negara-negara berkembang.

Jadi adalah tindakan kejam menahan glivec di bea dan cukai apalagi di sampul glivec yang untuk orang seperti Ibu Ai Rukiah itu ada tertulis: FOR PATIENT ASSISTANCE PROGRAM ONLY - SALE PROHIBITED.

Setiap kali berkunjung ke dokter di Penang, adek saya mengembalikan bungkus kosong tablet glivec yang dia konsumsi. Itu peraturan dan bagi kami itu masuk akal dan sportif. Dokter memastikan bahwa adek saya disiplin mengonsumsi obatnya dan juga secara tidak langsung untuk untuk taat pada aturan yang ditetapkan rumah sakit dan The Max Foundation , untuk menghindari hal-hal yang tidak diharapkapkan sebab obat itu memang mahal.

Saya berharap Menkes yang baru dapat memperbaiki sistem-rumit yang ada berkaitan dengan distribusi obat-kemanusiaan seperti glivec. Kita sudah dibantu, kok malah membuat situasi runyam bagi para pasien yang sedang menderita? Itu kan menyiksa habis orang yang sudah tersiksa.

Sekedar berbagi pengalaman; kalau Anda membaca tulisan ini, silahkan memberi tanggapan bagaimana kita sebaiknya membantu orang-orang seperti Ibu Ai Rukiah. Saya perkirakan, ada banyak orang yang mempunyai pengalaman yang mirip dengan Ibu Ai Rukiah di negeri ini dengan kisah yang berbeda-beda tapi sama-sama menyakitkan. Menghadapi kanker saja sudah sulit bagi pasien sendiri termasuk bagi keluarganya, tolonglah agar pihak-pihak yang harusnya membantu jangan malah menambah derita bagi sesama dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal. Terima kasih atas perhatian, kepedulian dan tindakan positif Anda! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun