Mohon tunggu...
Limantina Sihaloho
Limantina Sihaloho Mohon Tunggu... Petani - Pecinta Kehidupan

Di samping senang menulis, saya senang berkebun, memasak (menu vegetarian), keluar masuk kampung atau hutan, dan bersepeda ontels.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Untuk Para Dokter, Depkes dan Bea Cukai di Indonesia

29 Oktober 2009   17:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:29 1669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang sakit itu sensitif, mereka bisa lebih memikirkan dari mana uang untuk berobat daripada anggota keluarganya yang lebih mengkuatirkan soal penyakitnya. Adek saya begitu. Jadi sekali waktu saya mengatakan padanya, di dalam pesawat dalam perjalanan pulang dari Penang: "Jangan kuatir soal uang, akan selalu ada jalan! Tuhan akan tolong!" Terbukti itu benar.

Kami menerapkan disiplin baru: olahraga setiap hari, makan makanan yang sehat, boleh makan daging sekali-sekali. Setiap hari minum jus buah-buahan. Berusaha optimis. Pada beberapa bulan pertama, adek memperoleh dukungan dari banyak pihak. Seorang pendeta senior yang merupakan seorang konselor sewaktu-waktu bersedia kami telepon untuk menolong dan menguatkan adek saya secara psikologis dan spiritual. Betul bahwa dukungan keluarga dan lingkungan sangat berarti pada proses penyembuhan terutama bagi mereka penderita kanker.

APA YANG BISA KITA LAKUKAN?

Sesuai permintaan dokter dan juga penegasan dari staff kantor perwakilan The Max Foundation di Kuala Lumpur, adek saya musti minum tablet glivec-imatinib-nya pada waktu waktu yang sama setiap hari, kalau pun ada selisih waktu, tidak boleh lebih dari satu jam. Selain dokter telah memberitahukan hal ini, staff The Max Foundation masih perlu menelpon kami dan memberi penjelasan detil mengapa harus begitu. Tablet ini berfungsi untuk menormalkan komposisi darah dan kalau tidak disiplin mengonsumsinya, bisa berakibat formasi darah lalu terganggu, tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Jadi saya bisa bayangkan apa yang bisa terjadi pada seorang pasien CML seperti Ibu Ai Rukiah; minum tablet glivec selama tiga bulan lalu tidak lagi setelah Agustus tahun ini. Mudah-mudahan setelah surat Annie muncul di Kompas, pihak-pihak terkait segera mengeluarkan obat itu dari bea dan cukai.

Bandung - Jakarta itu jauh kan! Belum lagi Jakarta macet. Saya tidak habis pikir mengapa pasien CML di Bandung tidak memperoleh glivec di Bandung saja toh ia menjalani pemeriksaan di RS Hasan Sadikin Bandung. Mengapa kok sistem di negeri ini senang kali membikin orang repot, lelah dan frustrasi? Tidak bisakah dokter-dokter terkait di negeri ini memperjuangkan kepentingan pasien-pasien mereka macam Ibu Ai Rukiah itu?

YKI juga tidak pro-pasien dan tidak sensitif. Mengapa pasien dari luar Jakarta harus mengambil obat seperti glivec-imatinib itu ke YKI? Apa susahnya berkoordinasi dengan rumah-rumah sakit yang menangangi para pasien kanker sehingga para pasien bisa menerima obatnya di rumah sakit terdekat di mana dia menjalani diagnosis dan pemeriksaan reguler. Oh ya, pasien kanker harus mengunjungi dokter mereka secara reguler. Pada bagian awal akan ada pemeriksaan darah rutin, bisa setiap minggu untuk melihat hasil kerja obat. Kalau membaik, pemeriksaan darah menjadi per dua minggu, lalu per bulan, lalu per dua bulan, lalu per tiga bulan. Tergantung bagaimana kondisi pasien.

Rumah sakit di Penang mempunyai sistem yang efektif. Kami mengaplikasi untuk memperoleh glivec bagi adek perempuan saya lewat rumah sakit dan menerima glivec itu di rumah sakit yang sama. Rumah sakit berkoordinasi dengan The Max Foundation. Ada komunikasi terus-menerus termasuk antara The Max Foundation dengan pasien dan keluarganya baik lewat kantor perwakilan mereka di Kuala Lumpur maupun lewat kantor pusatnya di Amerika.

Glivec itu sangat mahal dan tidak untuk diperjualbelikan tetapi saya dengar sebagian pasien di Indonesia harus beli. Ini terjadi di Medan. Seorang pasien harus mengeluarkan uang sekitar Rp. 20.000.000 per bulan untuk membeli glivec. Anda bisa bayangkan siapa yang mampu beli obat semahal ini untuk seumur hidup.

Glivec merupakan hasil kerja sama antara The Max Foundation dengan Novartis. The Max Foundation didirikan untuk mengenang seeorang remaja, Maximiliano (Max) Rivarola asal Buenos Aires yang meninggal di Amerika pada usia 17 tahun setelah 3 tahun berjuang melawan CML. Orang tua dan kerabat serta beberapa dokter mendirikan lembaga yang membantu para pasien leukemia terutama CML di seluruh dunia khususnya di negara-negara berkembang.

Jadi adalah tindakan kejam menahan glivec di bea dan cukai apalagi di sampul glivec yang untuk orang seperti Ibu Ai Rukiah itu ada tertulis: FOR PATIENT ASSISTANCE PROGRAM ONLY - SALE PROHIBITED.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun