“Makanya, bapak tidak ijinkan kamu pergi ke Bali berdua. Dia itu otaknya sudah rusak, materialisme membuat dia kehilangan kontrol. Lebih romantis kan kita berdua.”
“Benar?”
“Itu tahap ke dua. Setelah bulan Desember.”
“Terimakasih Tuhan, doaku terkabul. Saya percaya Tuhan beribu-ribu persen. Doaku terkabul selama dua tahun.”
“Begitu saja percaya pada Tuhan.”
“Bapak sudah jarang sekali ke gereja, padahal mobil ada, motor juga ada.”
“Bapak sekarang percaya pada dukun, bisnis, dan kerja keras. Ideologi kita sudah beda dalam rumah ini. Itu yang namanya demokrasi. Berbeda-beda pemahaman tetapi tetap rukun dalam keharmonisan keluarga. Arti demokrasi yang bapak belajar, walaupun tidak tamat Sarjana. Oya… kita pasti ke Bali pertengahan bulan Desember tahun ini. Bapak sudah beli tiketnya. Natal dan tahun baru kita sekeluarga rayakan di pantai Kuta. Sekali-kali tampil beda dong. Masa tahun baru selalu berhubungan dengan kampung, adat, penduduknya dan kemiskinan. Lagian duit buat apa? Buat bersenang-senang. Kehidupan ini sangat pendek, jadi selagi ada rejeki kita enjoy man, kata anak muda zaman sekarang.”
Malam semakin larut. Istrinya bermalas-malas badan di bahu suaminya. Malam tiba-tiba menjadi romantis hanya milik mereka berdua. Mengingat masa lalu yang suram penuh gejolak segala aturan hukum adat. Rokok belum habis sebatang, asap kereta api Malboro Amerika tidak berhenti. Mungkin tidak bisa lagi sebelum menabrak dinding jantungnya, parunya membuat ia kehilangan nafas dan keseimbangan. Akan tetapi, ia sudah tidak peduli dengan segala aturan kehidupan. Bukankah hidup adalah kesenangan, kenikmatan seperti layaknya orang melakukan seks, minum teh di pagi hari.
“Ngomong-ngomong Helder ke mana? Sudah lama wajahnya tidak kelihatan di rumah ini. Kuliah juga tidak becus, jadi apa nantinya. Masa depan negeri ini ada di tangan generasi muda. Dulu kalau dia setuju rencana bapak kuliah di Surabaya, ambil fakultas ekonomi, masa depan perusahaan di tangannya. Memilih Jogja juga tidak selesai, jadi apa.”
Tiba-tiba suaminya mengganti fokus pembicaraan.
“Ah… bapak sama anak saja.”