Aku hanya melangkahkan kaki menuju dapur, dan menenangkan perasaan yang terus gelisah. Kayak tahu apa yang akan terjadi. Setelah berwudlu, kemudian menuju kamar depan untuk melaksanakan shalat maghrib. Gak pernah menduga kalau doa pada akhir shalatku mampu meneteskan air mata. Entah firasat apa yang akan kualami nanti ketika aku sampai di rumahnya.
Setelah selesai shalat, aku keluar dari kamar, kemudian duduk di kursi tamu. Gak lama tantenya, istri pamannya datang membawa segelas air minum, teh manis anget. Setelah dipersilakan, aku meminum teh tersebut dengan penuh penghayatan, nikmatnya luar biasa. Tapi itu tidak dapat meredam kegelisahanku. Biasanya kalau perasaanku seperti ini bakal ada yang keluar dari mataku, pipiku bakal basah.
“Teh, mau jam berapa ke rumahnya Aa? Sekarang atau besok?” Tanya pamannya seperti menyelidiki.
“Sekarang saja, karena besok mah sudah pulang lagi”. Jawabku singkat.
“Oh gitu, kok gak lama?” Tanya pamannya.
“Masih banyak kerjaan, ini saja ngebelain bolos.” Jawabku sedikit berkelit.
“Waduh segitunya. Ya udah atuh, mau dianter atau sendiri?” lagi-lagi pamannya memberikan perhatian.
“Sendiri saja, gak apa-apa, berani kok, sudah deket kan?” jawabku sok berani.
Aku langsung pamitan untuk meneruskan perjuangan yang entah akan seperti apa jadinya.
Aku berjalan sendiri di malam hari. tahu sendiri di kampung kan listrik ja belum begitu terang seperti sekarang. Tapi karena jalannya jalan desa lumayan lebar dan beraspal, jadi ya mudah saja. Tidak ada rasa takut sama sekali. Yang kutakutkan bukan hal yang seperti itu. Yang kutakutkan adalah apa yang akan terjadi kalau aku ketemu dengan dia.
“Assalamualaikum!” aku dengan setengah menahan rasa gemuruh di dada, mengucapkan salam harap-harap cemas.