Mohon tunggu...
Lilih muplihat
Lilih muplihat Mohon Tunggu... Novelis - Hanya yang suka menulis

Suka menulis, membaca, bercerita, dan makan

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Peyek Pembawa Cinta Pertama (Bagian 4)

1 Juni 2023   04:55 Diperbarui: 1 Juni 2023   04:57 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Emak jangan kawatir, Azmi pastikan Tari mau dan kita nikah sekarang, Tatonya abang." Azmi menatap Tari dan tersenyum.

Tari memalingkan kepala dengan tangan masih mengepal.

"Tidak, aku tidak mau menikah terburu-buru. Apalagi wanita yang mengacau dulu masih ada disisinya." Tari menatap ke samping kiri dan mendapati seorang wanita yang terus menatap perdebatan mereka.

"Tatonya Abang, mau ya, kita menikah_"

"Tidak. Tari tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Jadi, biarkan ini berjalan dengan lambat."

"Tapi, Tato. Abang harus_"

"Jangan kawatir, Abang bisa pergi seperti biasa. Tari akan menunggu Abang di sini."

"Tapi_"

"Maaf, Bang. Itu keputusan akhir. Kalau Abang mau menikah hari ini, Abang bisa mencari orang lain."

Azmi tertegun, dia tidak mengira kalau wanita yang dulu selalu mengiyakan bahkan mengajak lebih dulu dalam suatu hal, berubah drastis, berani menolaknya.

"Tato, Abang minta maaf bila_"

"Ya ampun Sasa!" suara Ibu Pranoto membuat semua orang teralih kan  fokusnya pada wanita yang sudah tergeletak tidak sadarkan diri.

"Ya ampun Sasa!" Azmi langsung memburu wanita itu, tanpa memedulikan Tari.

Tari tersenyum, "semua terulang kembali. Ternyata bagimu dia yang paling penting."

"Cepat masukkan ke_"

"Kursi! Baringkan dia di kursi. Tari ambilkan dulu minyak angin."

Mak Ijah terdiam ketika Tari melarang untuk dibaringkan di kamarnya. Biasanya dia selalu minta seperti itu, ketika melihat orang lain kesusahan. Tapi mengapa ini, seperti ada sesuatu yang aneh pada anaknya. Dia penasaran, tapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk bicara.

"Mak, mungkin acaranya dilanjutkan besok saja, ya. Kami akan membawa Sasa pulang saja." Ibu Pranoto menatap Mak Ijah bersalah.

"Oh, ya. Tidak apa. Silakan saja, kesehatannya lebih penting."

"Bener, Mak. Dia anak kurang sehat, dan cukup lemah. Kalau begitu kami pamit dulu." Keluarga Azmi akhirnya pulang, begitu pun dengan orang-orang yang datang.

Mereka pergi meninggalkan rumah Mak Ijah tanpa banyak bicara dan meninggalkan dua orang pemilik rumah.

"Mak mau bicara, boleh?" Mak Ijah berdiri di depan pintu kamar anaknya.

Tari menghembuskan nafas, dia tahu apa yang akan ditanyakan ibunya. Tari mengangguk dan membalikkan tubuh.

Mak Ijah duduk di samping ranjang, "sebenarnya ada apa?"

Tari tersenyum, memegang tangan ibunya, "bukan apa-apa. Mak tidak usah memikirkannya."

"Apakah wanita itu yang menyebabkan kamu menjauhi Azmi dulu?"

Tari menegang, dia tidak yakin kalau Mak ingat dengan apa yang terjadi dulu, karena seingatnya pula, tidak pernah menceritakan soal Azmi pada ibunya.

"Jangan menganggap Mak bodoh, Mak tahu apa yang terjadi dulu, sampai kamu mengurung diri dan tidak mau makan." Mak Ijah mengusap tangan anaknya.

"Kalau seperti itu, tidak ada salahnya kalau kamu memikirkan semua dengan saksama dan matang. Ingat jangan sampai kesalahan itu terulang kembali."

Tari menatap sang ibu dan mengangguk. Dia menghambur dalam pelukannya dan menangis pelan.

"Pernikahan itu bukan untuk satu atau dua hari saja, tapi itu untuk selama hidupmu. Jadi sebelum itu terjadi, kamu bisa berpikir ulang jangan terburu-buru."

Tari mengurai pelukan, dan mengusap mata. Senyum terukir, "Kalau begitu, Tari mau tidur sekarang. Oh iya, Mak jangan bekerja dulu, biar Tari mempersiapkan semuanya. Tapi untuk saat ini, Tari ingin tidur terlebih dahulu."

"Lah, besok kamu tetep jualan?" Mak ijah menatap sang anak.

Tari mengangguk, "uang persediaan kita tidak akan cukup untuk kebutuhan lusa, Mak."

"Kamu tidak_"

"Kenapa Tari harus malu, ini bukan maling. Lagian kasihan, Mak. Langganan yang makannya menunggu peyek Tari bagaimana."

Mak Ija tersenyum, "Iyaaa. Baiklah, bagai mana baiknya saja. Mak tidak akan menentangmu."

Tari tersenyum dan mengangguk, "Terima kasih, Mak. Tari tidur dulu."

Mak Ijah tersenyum,  "kalau begitu Mak pergi dulu. Jangan sampai mimpi yang aneh-aneh ya."

"Iiih, Mak ada-ada saja."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun