"Hentikan matahari," katanya, "Baru aku akan ngobrol denganmu."
Amir bin Abdi Qais meminta seseorang menghentikan perputaran matahari. Permintaan ganjil itu merupakan syarat bagi orang yang ingin berbincang-bincang dengannya.
Amir bin Abdi Qais adalah seorang tabiin, yakni golongan orang-orang yang pernah bersahabat dengan Nabi Muhammad saw. Orang mengenal Amir sebagai seorang yang zuhud, senantiasa menjaga diri dari pengaruh kehidupan duniawi dan lebih berorientasi pada kehidupan akhirat.
Sudah barang tentu Amir memahami bahwa orang yang mengajaknya berbincang-bincang  tidak bakal mampu memenuhi permintaannya. Tidak ada seorang pun di muka bumi mampu menghentikan atau bahkan sekadar menunda barang sejenak pergerakan matahari.
Amir mengucapkan kalimat itu sebagai ungkapan bahwa dirinya tidak rela kehilangan waktu hanya untuk ngobrol ngalor ngidul yang tak jelas manfaatnya. Waktu memang teramat penting peranannya dalam kehidupan seorang soleh seperti dirinya.
Kisah singkat itu mengemuka dalam buku Manajemen Waktu Para Ulama karya Syaikh Abdul Fattah. Buku yang diterjemahkan dari Qimatuz Zaman 'indal 'Ulama itu merupakan salah satu "teman duduk" saya di Ramadan kali ini.
Beberapa judul buku lainnya tak mau ketinggalan. Mereka turut "menyemarakkan" Ramadan dengan menemani saya memanfaatkan waktu.
Sebagian di antaranya bahkan menyuguhkan tulisan-tulisan yang menggugah imajinasi hingga memunculkan ide bagi beberapa tulisan saya di Kompasiana. Tulisan-tulisan yang gagasannya bersumber dari buku antara lain membahas tentang sahabat nabi yang "menolak" keseimbangan hidup dan teman ngabuburit yang toleran dan tidak pelit.
Pokok Nikmat Paling Agung dan Berharga
Demikian penting unsur waktu dalam kehidupan manusia. Peran waktu yang sangat berarti telah mendorong penulis buku itu menjuluki waktu sebagai 'pokok nikmat yang paling agung dan berharga'.
Waktu yang tidak digunakan sebagaimana mestinya telah menimbulkan berbagai dampak buruk. Misalnya semangat para penuntut ilmu yang melemah, orientasi orang-orang yang bersungguh-sungguh mulai mengendur, dan orang yang membara semangatnya dalam menggeluti ilmu semakin langka.
Dampak selanjutnya adalah matinya kecerdasan serta jayanya kemalasan dan kebodohan. Lantas, muncul fenomena kelemahan dan ketertinggalan dalam barisan orang-orang yang menggeluti ilmu, termasuk menurunnya kualitas karya-karya mereka.
Betapa serius dampak pengabaian waktu seperti yang diungkapkan sang penulis buku.
Al Qur'an banyak sekali memaparkan pentingnya waktu. Dalam beberapa kesempatan, Allah swt berfirman dengan menyebut kata-kata 'malam', 'siang', 'umur', 'fajar', 'senja', serta 'waktu' dan 'masa' sebagai penunjuk waktu.
Di antara ayat-ayat yang membincang tentang waktu tentu sudah amat kita kenal. Salah satunya terdapat dalam surah Al-'Ashr.
"Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran."
Cara Para Ulama Mengelola Waktu Mereka
Peran waktu yang amat krusial berlaku bagi semua orang dalam semua sendi kehidupan. Namun, Syaikh Abdul Fattah memfokuskan pembahasan bukunya pada kehidupan para ulama.
Cuplikan kehidupan beberapa ulama dalam urusan penggunaan waktu yang sedemikian ketat barangkali bisa menjadi inspirasi. Berikut ini sebagian dari orang-orang yang sangat peduli akan berharganya waktu.
1. Khalil bin Ahmad yang menyesali waktu makan
Khalil yang disebut-sebut sebagai salah satu ulama paling cerdas sangat menyayangkan waktunya yang "dihabiskan" untuk menyantap makanan.
2. Hasan Al-Bashri yang menganggap manusia sebagai kumpulan hari-hari belaka
Ulama ini pernah mengatakan bahwa manusia hanyalah kumpulan hari-hari. Maka, jika berlalu sebuah hari, berlalu pula sebagian dari diri manusia.
3. Muhammad bin Hasan yang "alergi" tidur
Ulama yang lahir tahun 132 H ini sering tidak tidur malam. Beliau sengaja menaruh tumpukan buku di sisinya.
Tentu saja buku-buku itu tidak dijadikannya sebagai bantal untuk mengalasi kepalanya, melainkan ditelaahnya satu per satu. Beliau mengandalkan air untuk mengusir kantuk yang kadang-kadang mengganggu aktivitasnya berburu ilmu.
Masih banyak cerita-cerita inspiratif tersaji dalam buku ini. Kisah-kisah menakjubkan yang susah ketemu nalar orang-orang awam.
Kualitas hidup para ulama sudah tentu berbeda jauh dengan "rakyat jelata" semacam saya. Ketika ada orang sangat menyesali waktu yang terbuang untuk makan dan tidur, misalnya, saya santai-santai saja menghamburkannya berjam-jam mengulik Kompasiana atau menonton Timnas Indonesia.
Namun, kisah-kisah semacam itu tetap saja memberi hikmah. Dalam tataran tertentu, kisah ulama-ulama dalam mengelola waktu bisa menjadi inspirasi untuk menghargai waktu dengan lebih baik lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H