Sebenarnya, saya bukanlah seorang pembaca buku yang gimana gitu. Saya jelas bukan kutu buku yang pergi ke mana-mana menenteng jendela dunia itu.
Bahkan adakalanya keberadaan buku di tangan saya bukan lantaran materi yang tersaji di dalamnya. Pernah juga pikiran ganjil menyelimuti benak saya kala tertarik pada sebuah buku.
Kini, kehadiran macam-macam format bacaan sungguh melegakan. Jika di masa lampau buku menjadi andalan utama saya dalam mendapatkan referensi, kini sebagian peran itu diambil alih oleh artikel-artikel yang dapat saya comot di media daring.
Sebenarnya, sisi kenyamanan membaca menuntut saya terus berburu buku yang tak menimbulkan bahaya radiasi bagi mata. Namun, pada sisi yang lain, sudut-sudut pemikiran praktis dan ekonomis lebih sering mendominasi.
Dampaknya, kunjungan saya ke toko buku mulai berkurang. Otomatis, pendapatan toko buku pun menurun.
Seandainya diri saya saja yang bertindak seperti itu, tentu saja toko-toko buku tak perlu risau. Ibarat menggarami lautan, jumlah belanja buku saya sangat tidak berarti bagi sebuah toko buku paling kecil sekali pun.
Masalahnya, perilaku demikian tentunya bukan milik saya seorang. Data menunjukkan bahwa kaum milenial menjadi generasi paling gandrung dengan segala yang berbau digital.
Di antara 26% masyarakat Indonesia yang mengakses internet di atas 6 jam per hari, kaum muda mendominasi. Generasi Z menyumbang 35%, sedangkan peran generasi Y mencapai 26%.
Nah, saya yang tidak muda lagi saja cenderung ikut arus digitalisasi, apalagi mereka yang masih belia.
Mendapati fenomena ini, sepertinya para pedagang buku memang harus berkreasi "menyulap" toko-toko mereka menjadi semenarik lapak-lapak digital. Tujuannya tidak lain agar tidak lekas ditinggal, terutama oleh kaum milenial.