Kabar maraknya toko buku tutup belakangan ini cukup mengejutkan. Dan, ternyata, mungkin kita pun terlibat dalam "kekacauan nasional" ini.
Sejumlah toko buku berguguran. Kinokuniya, Togamas, dan Book and Beyond telah memulai "parade" toko buku yang menutup gerai.
Seakan tak mau ketinggalan, toko buku yang usianya hampir setua kemerdekaan negara kita ikut-ikutan menyatakan undur diri dari muka bumi. Terkini, Toko Buku Gunung Agung menyiarkan kabar duka jagat perbukuan berikutnya.
Mereka telah "bertekad" untuk menyudahi operasional seluruh toko di akhir tahun 2023 ini. Siapa yang nggak sedih, coba?
Lantas, muncul seulas pertanyaan, mengapa toko-toko buku itu beramai-ramai menutup gerai?
Inilah Penyebab Banyak Toko Buku Tutup Hampir Bersamaan
Mencermati pendapat para pakar pemasaran, terdapat banyak penyebab banyak toko buku gulung tikar. Pelbagai kondisi yang terjadi telah mengakibatkan pendapatan yang masuk ke kas mereka tak lagi mampu menutup biaya yang membengkak.
Menyitir kabar yang disampaikan katadata.com misalnya, beberapa penyebab toko buku tutup antara lain munculnya format buku digital, menggeliatnya toko buku daring, dan terjadinya perubahan kebiasaan membaca umat manusia di Indonesia.
Munculnya format bacaan digital
Munculnya format buku atau bacaan digital seperti e-book dan konten-konten blog, media sosial serta situs berita daring jelas menggerus potensi manusia mendatangi toko buku. Faktor kemudahan dan kemurahan mendapatkan bacaan-bacaan berformat digital menjadi daya tarik yang kuat.
Banyak orang mengalihkan tujuan kunjungan mereka, semula ke toko buku berpindah ke lapak-lapak daring. Kini, mudah sekali kita menemukan penjual (buku) bertebaran di sekujur layar gawai kita.
Banyaknya toko buku daring
Fenomena kedua, menjamurnya toko-toko buku daring, masih berkaitan dengan kondisi pertama. Potensi pembeli (atau pembajak?) buku secara daring di negara kita begitu besar.
Semakin hari, jumlah pengakses internet di Indonesia semakin menggila. Melalui survei yang dilakukannya, Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) mencatat lebih dari 215 juta jiwa penduduk Indonesia telah mengakses internet pada awal tahun 2023 ini. Angka sebesar itu merupakan 78% lebih populasi penduduk Indonesia.
Dari tahun ke tahun, jumlah pengguna internet selalu meningkat cukup besar, sekira 15% per tahun.
Bukan hanya frekuensinya, durasi menyambangi internet warga +62 pun luar biasa. Hasil survei Kominfo bersama Katadata Insight Center menyatakan bahwa 26% penduduk Indonesia mengakses internet lebih dari enam jam sehari.
Sementara itu 17% di antaranya, dalam sehari mengakrabi internet selama 4 hingga 6 jam. Jadi, 42% orang Indonesia tak lepas dari cengkeraman internet lebih dari 4 jam per hari.
Data yang tersaji di atas memang tidak menggambarkan secara langsung hubungan antara kebiasaan mengakses internet dengan jumlah pembeli buku. Namun, banyaknya penduduk yang mengakses internet dengan durasi yang panjang bisa menjadi pasar dagangan daring yang potensial.
Perubahan kebiasaan membaca
Tak bisa dimungkiri, makin ke sini pemandangan orang membaca buku makin sepi. Pemandangan yang acap kita saksikan sekarang adalah wajah-wajah yang menunduk memandangi gawai dalam genggaman tangan.
Bisa jadi mereka sedang membaca artikel, berita, atau menonton video atau sekadar melirik pesan singkat. Apa pun bentuk kegiatan orang-orang itu dengan gawai kesayangan mereka, tentu ada di antaranya yang menjadi pesaing buku.
Jadi, meskipun mungkin tidak banyak, tangan yang hampir selalu menggenggam gawai tentu saja tak lagi bisa digunakan untuk memegang buku. Tak pelak, "membaca" gawai pun menjadi ancaman bagi keberlangsungan "kehidupan" buku.
Nah, kondisi-kondisi demikian, ditambah biaya operasional yang makin mahal, mendorong sejumlah toko buku berkemas sebelum benar-benar terjungkal.
Nggak Taunya, Kita Bisa Terbawa-bawa
Sedihnya, saya menjadi bagian dari penyebab toko-toko buku merugi. Bagaimana ceritanya?
Sebenarnya, saya bukanlah seorang pembaca buku yang gimana gitu. Saya jelas bukan kutu buku yang pergi ke mana-mana menenteng jendela dunia itu.
Bahkan adakalanya keberadaan buku di tangan saya bukan lantaran materi yang tersaji di dalamnya. Pernah juga pikiran ganjil menyelimuti benak saya kala tertarik pada sebuah buku.
Kini, kehadiran macam-macam format bacaan sungguh melegakan. Jika di masa lampau buku menjadi andalan utama saya dalam mendapatkan referensi, kini sebagian peran itu diambil alih oleh artikel-artikel yang dapat saya comot di media daring.
Sebenarnya, sisi kenyamanan membaca menuntut saya terus berburu buku yang tak menimbulkan bahaya radiasi bagi mata. Namun, pada sisi yang lain, sudut-sudut pemikiran praktis dan ekonomis lebih sering mendominasi.
Dampaknya, kunjungan saya ke toko buku mulai berkurang. Otomatis, pendapatan toko buku pun menurun.
Seandainya diri saya saja yang bertindak seperti itu, tentu saja toko-toko buku tak perlu risau. Ibarat menggarami lautan, jumlah belanja buku saya sangat tidak berarti bagi sebuah toko buku paling kecil sekali pun.
Masalahnya, perilaku demikian tentunya bukan milik saya seorang. Data menunjukkan bahwa kaum milenial menjadi generasi paling gandrung dengan segala yang berbau digital.
Di antara 26% masyarakat Indonesia yang mengakses internet di atas 6 jam per hari, kaum muda mendominasi. Generasi Z menyumbang 35%, sedangkan peran generasi Y mencapai 26%.
Nah, saya yang tidak muda lagi saja cenderung ikut arus digitalisasi, apalagi mereka yang masih belia.
Mendapati fenomena ini, sepertinya para pedagang buku memang harus berkreasi "menyulap" toko-toko mereka menjadi semenarik lapak-lapak digital. Tujuannya tidak lain agar tidak lekas ditinggal, terutama oleh kaum milenial.
Semoga, tidak ada lagi toko buku tutup di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H