“Setiap pengalaman tidak menyenangkan berarti selangkah menuju kegagalan membaca.”
Kalimat itu ditulis oleh salah seorang penulis buku anak terlaris di Australia, Paul Jennings. Jennings merasa perlu menyuarakan kegelisahannya melalui sebaris kalimat itu berkenaan dengan pemilihan buku bacaan bagi anak-anak. Ia menganjurkan agar para orangtua menyediakan buku anak secara bijak, tidak memilih buku yang terlalu sulit dimengerti oleh anak-anak.
Seringkali terjadi seorang anak mendapatkan pengalaman yang tidak menyenangkan dalam kegiatan membaca, misalnya buku yang dibacanya dipenuhi dengan kata-kata yang susah dimengerti oleh anak seusianya. Pengalaman buruk semacam itu bisa saja menyurutkan minat baca sang anak yang baru mulai ditumbuhkan. Sayang sekali, bukan?
Buku “Sulit” pun Tetap Berguna
Pada satu sisi, saya setuju dengan anjuran yang disampaikan Jennings. Bagaimanapun, kemampuan mencerna kata yang dimiliki anak-anak masih sangat terbatas.
Dan buku-buku yang dihiasi banyak istilah “aneh” tentu menyulitkan anak-anak menikmati jalan cerita yang dipaparkannya. Selanjutnya kita mengkhawatirkan anak-anak akan menjauhi buku karena membayangkan kepusingan yang akan menghinggapi kepalanya oleh banyaknya kata-kata yang sulit dicerna.
Namun pengalaman saya menunjukkan tidak selamanya “buku sulit” yang bertabur istilah-istilah yang memusingkan kepala akan membuat kening anak-anak berkernyit. Ada hal lain yang menyebabkan anak-anak tidak merasakan fobia dan tetap antusias “bercanda” dengan buku-buku yang bertebaran di sekitarnya.
Anak saya yang terkecil kini masih belajar di bangku sekolah tingkat dasar. Ia menjadi salah seorang penghuni rumah yang rakus melahap pelbagai bacaan.
Buku-buku berisikan dongeng dan kisah-kisah yang memang ditujukan bagi anak-anak seusianya tentu saja menjadi santapan yang sehari-hari dinikmatinya.
Namun sepertinya ia tak puas dan berhenti sampai di sana. Buku-buku pengetahuan yang memunculkan beberapa istilah dalam bahasa ilmiah atau bahasa asing yang belum pernah dipelajarinya tetap disuka. Demikian pula novel-novel milik kakaknya yang lebih tepat dinikmati oleh anak-anak yang menjelang remaja pun tak luput di-“jamah”-nya.
Lantas, kenapa ia tak menolak untuk menikmati bacaan-bacaan yang tak mudah dimengerti oleh anak seusianya?
Sebelum sampai pada jawaban atas pertanyaan di atas, saya perlu menjelaskan beberapa hal, terutama menyangkut buku-buku yang “menyimpang” dari usianya tetapi tetap dibacanya. Saya selaku orangtua tentu saja tidak menginginkan anak saya “tersesat” akibat ia membaca bacaan-bacaan yang belum tepat waktu baginya.
Saya tetap memberikan batasan bacaan-bacaan mana saja yang boleh dilahap olehnya. Anak usia Sekolah Dasar tentu belum boleh merambah bacaan untuk 13 tahun ke atas. Dan saya hampir selalu menyaring bacaan-bacaan sebelum sampai ke tangan si bungsu yang belum sepuluh tahun usianya.
Nah, mengenai rahasia anak-anak yang tetap antusias membaca bacaan-bacaan “sulit”, ada ceritanya. Dan tak lupa saya sertakan beberapa contohnya.
Sebelum anak-anak memiliki kemampuan membaca sendiri, kami rutin membacakan berbagai jenis buku bagi mereka. Termasuk di dalamnya buku-buku yang tergolong rada berat dengan sejumlah istilah dan wawasan yang tak mudah dicerna oleh anak-anak.
Ketika mendapati hal-hal yang tak mereka mengerti, biasanya anak saya langsung mengajukan pertanyaan kepada orangtua. Dan di sinilah letak rahasianya. Untuk tidak mematikan minat anak-anak pada bacaan, buku utamanya, kita membutuhkan sebuah “ramuan” rahasia.
Sebenarnya bukan rahasia-rahasia amat, karena resep ramuan itu semua orang telah mengetahuinya. Kita hanya perlu menambahkan sedikit “bumbu” berupa kemauan untuk mendengarkan pertanyaan anak-anak dan antusias memberikan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan mereka.
Anak-anak akan merasa terbakar semangatnya ketika mendapati orangtua yang tidak menunjukkan antipati akan pertanyaan-pertanyaan mereka. Tidak masalah jika kita hanya mampu menjawab, “Nanti Ayah cari informasinya di internet ya, Nak!”, karena keterbatasan pengetahuan kita. Anak-anak akan lebih sensitif kepada kemauan orangtua yang ditunjukkan oleh raut muka ketimbang materi jawaban itu sendiri.
Hingga kini, si bungsu tak kapok membaca buku-buku yang berhiaskan beberapa kata “asing” karena ia tahu ke mana harus mencari jawaban atas kesulitan-kesulitan yang ditemuinya dalam bacaan-bacaan yang dilahapnya.
Bukannya ia tak pernah mendapatkan tanggapan kurang simpatik dari orangtuanya. Sesekali si orangtua juga merasa “sedang ada urusan penting” hingga menganggap pertanyaan anak bagaikan angin lalu saja. Namun secara umum sang anak merasakan bahwa dirinya bukanlah “pengganggu yang menyebalkan” di mata orangtua.
Peran Orangtua di Tengah Keterbatasan
Ungkapan saya mengenai pentingnya peran orangtua dalam membersamai kegiatan membaca anak-anak tidak berarti menganggap enteng kualitas buku, terutama dalam hal ini buku anak-anak.
Buku yang baik, yang memenuhi syarat-syarat semacam mengusung tema menarik, dirancang dengan tata bahasa baik, meliputi jumlah kata dan kalimat tidak terlalu panjang dan beberapa kondisi ideal lainnya, sudah tentu sangat membantu semangat dan kecintaan anak-anak akan buku.
Sebuah buku anak yang baik bukan hanya berdampak baik bagi anak-anak. Buku yang baik juga sangat menguntungkan para orangtua. Setidaknya orangtua bisa menghemat waktu karena frekuensi “gangguan” anak-anak berupa pertanyaan-pertanyaan akan berkurang.
Kita pun tak perlu berpanjang lebar membeberkan penjelasan karena si buku baik telah memberikan paparan yang dimengerti anak-anak.
Namun dalam kenyataan acap kali kita dihadapkan pada sebuah keadaan yang tidak selalu ideal seperti ketersediaan bahan bacaan yang baik seperti paparan di atas.
Bisa juga kemampuan keuangan kita yang terbatas untuk mendapatkan buku-buku berkualitas. Maka, dalam kondisi yang demikian, kita bisa mengoptimalkan peran kita untuk menjaga anak-anak tetap memiliki semangat membaca.
Selain semangat membaca pada diri anak-anak tetap terjaga, kesediaan orangtua memberikan penjelasan kepada anak-anak juga akan mendatangkan keuntungan yang lain. Pengetahuan dan wawasan anak-anak pun semakin bertambah.
Saya bisa mengemukakan beberapa contoh terkait hal ini. Misalnya ketika kita sedang bersama anak membaca sebuah kisah yang terjadi di gurun, dan jika kita tidak pelit memaparkan arti beberapa istilah di dalamnya, maka anak-anak akan mendapatkan pengetahuan baru mengenai oase dan fatamorgana.
Atau pada suatu saat kita membersamai anak membaca buku pengetahuan mengenai kehidupan di alam liar. Ketika anak-anak menemukan kesulitan dan kita selaku orangtua menyediakan diri untuk membantu mereka, maka anak-anak akan mendapatkan pengalaman baru karena sudah bisa membedakan antara hutan hujan tropis dan sabana.
Esok hari, 2 April 2020, kita akan menyambut Hari Buku Anak Sedunia. Mari sediakan energi kita membersamai anak-anak membaca.
Referensi: Paul Jennings, “Agar Anak Anda Tertular “Wirus” Membaca”, Penerbit MLC, Bandung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H