Lantas, kenapa ia tak menolak untuk menikmati bacaan-bacaan yang tak mudah dimengerti oleh anak seusianya?
Sebelum sampai pada jawaban atas pertanyaan di atas, saya perlu menjelaskan beberapa hal, terutama menyangkut buku-buku yang “menyimpang” dari usianya tetapi tetap dibacanya. Saya selaku orangtua tentu saja tidak menginginkan anak saya “tersesat” akibat ia membaca bacaan-bacaan yang belum tepat waktu baginya.
Saya tetap memberikan batasan bacaan-bacaan mana saja yang boleh dilahap olehnya. Anak usia Sekolah Dasar tentu belum boleh merambah bacaan untuk 13 tahun ke atas. Dan saya hampir selalu menyaring bacaan-bacaan sebelum sampai ke tangan si bungsu yang belum sepuluh tahun usianya.
Nah, mengenai rahasia anak-anak yang tetap antusias membaca bacaan-bacaan “sulit”, ada ceritanya. Dan tak lupa saya sertakan beberapa contohnya.
Sebelum anak-anak memiliki kemampuan membaca sendiri, kami rutin membacakan berbagai jenis buku bagi mereka. Termasuk di dalamnya buku-buku yang tergolong rada berat dengan sejumlah istilah dan wawasan yang tak mudah dicerna oleh anak-anak.
Ketika mendapati hal-hal yang tak mereka mengerti, biasanya anak saya langsung mengajukan pertanyaan kepada orangtua. Dan di sinilah letak rahasianya. Untuk tidak mematikan minat anak-anak pada bacaan, buku utamanya, kita membutuhkan sebuah “ramuan” rahasia.
Sebenarnya bukan rahasia-rahasia amat, karena resep ramuan itu semua orang telah mengetahuinya. Kita hanya perlu menambahkan sedikit “bumbu” berupa kemauan untuk mendengarkan pertanyaan anak-anak dan antusias memberikan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan mereka.
Anak-anak akan merasa terbakar semangatnya ketika mendapati orangtua yang tidak menunjukkan antipati akan pertanyaan-pertanyaan mereka. Tidak masalah jika kita hanya mampu menjawab, “Nanti Ayah cari informasinya di internet ya, Nak!”, karena keterbatasan pengetahuan kita. Anak-anak akan lebih sensitif kepada kemauan orangtua yang ditunjukkan oleh raut muka ketimbang materi jawaban itu sendiri.
Hingga kini, si bungsu tak kapok membaca buku-buku yang berhiaskan beberapa kata “asing” karena ia tahu ke mana harus mencari jawaban atas kesulitan-kesulitan yang ditemuinya dalam bacaan-bacaan yang dilahapnya.
Bukannya ia tak pernah mendapatkan tanggapan kurang simpatik dari orangtuanya. Sesekali si orangtua juga merasa “sedang ada urusan penting” hingga menganggap pertanyaan anak bagaikan angin lalu saja. Namun secara umum sang anak merasakan bahwa dirinya bukanlah “pengganggu yang menyebalkan” di mata orangtua.
Peran Orangtua di Tengah Keterbatasan