Suatu kali kami sekeluarga bersantap malam di sebuah rumah makan yang tergolong tradisional. Sebuah tempat makan yang terbilang kecil dengan sistem layanan yang masih sederhana.
Sejenak duduk menanti, seorang pelayan segera menghampiri. Kami menyampaikan pesanan kepada pelayan. Berhubung hawa malam lumayan dingin seusai hujan mengguyur cukup deras, saya memesan minuman jeruk panas.
Sekian lama dalam penantian, datanglah sang pelayan dengan baki di tangan. Dengan cekatan, sang pelayan segera menghidangkan makanan dan minuman yang kami pesan. Beberapa jenis makanan dan minuman pun tersaji di hadapan kami.
Ketika mata menelusuri deretan makanan dari ujung kanan hingga yang paling kiri, saya merasa bimbang karena ada sesuatu yang hilang. Jeruk panas yang saya idam-idamkan tak tampak di meja makan. Yang terlihat di depan mata hanya segelas teh dengan asap yang mengepul ke udara.
Sepertinya si pelayan keliru mencatat pesanan. Dan saya mengingat ada satu langkah yang dilupakan. Setelah selesai menuliskan semua pesanan, si pelayan tak mengulang membacakan satu per satu menu yang telah kami sebutkan. Maka, kesalahan pencatatan pun tak terelakkan.
Istri yang terbiasa bersikap kritis segera mengingatkan saya untuk minta ganti minuman sesuai pesanan yang sebenarnya. Namun saya lebih suka menerima saja apa yang telah terhidang di atas meja.
Saya berpikir, fungsinya toh sama saja. Untuk menghangatkan badan di tengah hawa yang dingin, teh panas atau jeruk panas tak jauh beda. Keduanya bisa memenuhi kebutuhan saya.
Nah, betul kan? Akhirnya saya berhasil menemukan alasan yang masuk akal. Walaupun sebenarnya pikiran itu hanya sebuah upaya untuk menutupi keengganan saya.
Enggan Menjadi Pusat Perhatian
Saya pernah menyaksikan pertengkaran yang melibatkan seorang pembeli dengan penjual makanan di sebuah pusat perbelanjaan. Entah apa persoalan yang mereka persengketakan. Materi yang menjadi sumber keributan tidak menjadi hal yang paling saya perhatikan.
Satu hal yang merasuk ke dalam ingatan saya, pada saat itu cukup banyak orang di sekitarnya menghentikan aktivitas untuk sekadar menyaksikan. Bahkan tak sedikit yang menyempatkan diri menghentikan langkah kaki.
Warga negeri ini memang terkesan jauh dari sarana hiburan. Maka, pertengkaran orang pun menjadi tontonan.