Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kartu Anak Nakal dan Guru yang (Akhirnya) Sadar

25 November 2019   08:09 Diperbarui: 26 November 2019   07:19 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang guru memiliki kebiasaan memberi "Kartu Anak Nakal" bagi anak-anak muridnya yang dianggapnya telah membuat kekacauan. Dan pada tahun ajaran baru ini, Lee Gun Woo menjadi anak pertama yang mendapatkannya.

Sialnya, kartu berwarna kuning itu diperolehnya tanpa satu kesalahan pun yang dibuatnya. Waktu itu, sebuah pot bunga anggrek yang menghias kelas hancur berkeping-keping tertimpa alat pengepel lantai yang berada dalam genggaman tangannya.

Saat itu, Gun Woo terjatuh akibat dorongan seseorang dari belakang. Suasana riuh anak-anak sekelas yang sedang melaksanakan bersih-bersih ruang kelas membuatnya tak melihat siapa anak yang mendorongnya.

Apa daya, Bu Guru tak menyaksikan hal yang sebenarnya terjadi. Dan sang guru adalah pemegang wewenang memberikan apa saja bagi murid-muridnya, tak terkecuali kartu-kartu yang amat dihindari murid-murid itu.

Itulah mula dari masa depan suram yang menghantui Lee Gun Woo. Kesuraman yang bukan karena kebodohan atau kecerobohannya.

Pelanggan Kartu Anak Nakal

Masa berikutnya tamparan-tamparan silih berganti menghampiri Gun Woo. Ia menjadi "pelanggan setia" Kartu Anak Nakal. Ketika pada suatu hari tanpa sengaja ia terlambat masuk kelas seusai jam istirahat, ia harus menerima kartu untuk kedua kalinya.

Tak ayal, hari-harinya disibukkan oleh berbagai hukuman yang harus dijalaninya. Ia harus bergabung dengan tim piket membersihkan dan merapikan kelas saat ia tidak sedang piket. Tambahan 30 soal matematika pun harus diselesaikannya hari itu juga.

Dan sedihnya, Ibu Guru tak sedikit pun melirik lembar jawaban yang telah memenjarakannya di kelas hingga hampir jam lima. Jawaban-jawaban yang telah menguras tenaga dan pikirannya di kala semua teman sekelasnya mungkin telah bersantai-santai di rumah mereka.

Belum usai penderitaan Gun Woo sampai di situ. Sesampainya di rumah, ia masih harus menghadapi kemarahan ibunya lantaran tak bisa menepati janji pergi ke dokter gigi sore tadi.

Gun Woo tidak sendirian. Beberapa temannya bernasib serupa dengannya. Oleh beberapa sebab yang berbeda, mereka menjadi pengoleksi kartu kuning dari Bu Guru.

Percuma saja seandainya anak-anak "nakal" itu berusaha menutupi muka mereka. Bagaimanapun, status nakal akan dikenali minimal oleh seluruh penghuni kelas. Stiker-stiker penanda "akhlak" senantiasa lekat menempel di dinding kelas berdampingan dengan nama-nama mereka.

Satu hal yang mengherankan Gun Woo, bagaimana mungkin Bu Guru bisa mendengar umpatannya di kamar mandi. Sedangkan antara Bu Guru dengannya jelas berbeda tempat buang hajat. Namun seperti biasa, tiada hak siswa untuk mengelak saat koleksi kartu kuningnya harus bertambah.

Mimpi yang Tak Pudar

Hebatnya Gun Woo, kekesalan hatinya tak mampu meruntuhkan mimpinya. Merasa memiliki kemampuan dalam bidang sains, ia pun mendaftar sebagai peserta kompetisi sains, meskipun pada awalnya tidak masuk pilihan Bu Guru. Dan ia tak peduli ketika seisi kelas mentertawakannya.

Sempat tidak mendapatkan restu ibunya, dalam wujud penolakan sang ibu membelikan science kits, akhirnya ia menuju kompetisi sains berbekal kotak sains yang dibelikan ayahnya. Gun Woo amat gembira walaupun hatinya sempat ciut karena merasa bersalah telah menghabiskan uang ayah.

Ia menebus pengorbanan sang ayah dengan mengelap sepatu ayahnya setiap hari, entah sampai berapa lama. Dan semua upayanya belum memberikan hasil yang diimpikannya. Ia belum mampu mengukir prestasi di ajang itu.

Namun setidaknya proses yang telah dilaluinya meninggalkan bekas positif bagi diri dan lingkungannya. Sebuah obeng sederhana telah membuat "harga diri"-nya membubung. Perseteruan dengan teman-temannya berbalik menjadi persahabatan.

Memasuki Titik Balik

Kekesalan Gun Woo kepada gurunya dilampiaskan dalam bentuk yang serupa dengan yang dilakukan Bu Guru. Meniru cara sang guru, ia membuat Kartu Guru Jahat.

Bedanya, ia tak berani menempelkan kartu-kartu bikinannya di dinding kelas, berdampingan dengan nama Bu Guru. Ia hanya mampu menyimpan kartu-kartu pelampiasan kemarahannya itu dengan menyelipkannya dalam buku catatan miliknya.

Suatu hari, Gun Woo mencuri stok kartu-kartu berwarna kuning dari dalam laci Bu Guru. Ia ingin menghentikan peredaran kartu-kartu itu dengan cara melenyapkannya.

Namun ia tak waspada. Barangkali disebabkan oleh gemetar badannya oleh kegamangannya, buku catatannya tertinggal di meja Bu Guru seusai meraup seluruh kartu dari laci. Dan di dalam buku itu tersimpan rapi beberapa helai Kartu Guru Jahat yang "dipersembahkannya" teruntuk Bu Guru.

Semakin jelas bahwa masa depan Gun Woo akan semakin buruk. Kartu Guru Jahat tentu akan mengirimnya kepada kondisi yang jauh lebih runyam dibandingkan Kartu Anak Nakal yang rutin diterimanya.

Namun yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Kartu-kartu yang seharusnya membuat merah padam wajah Bu Guru, ternyata justru menimbulkan akibat yang sebaliknya.

Sang Pendidik tercenung membayangkan sikap buruk yang sekian lama dilakukannya kepada anak-anak didiknya. Barangkali ia baru menyadari, beberapa helai Kartu Guru Jahat itu benar adanya.

Ditambah lagi dengan hasil kompetisi sains yang dibuat si pelanggan Kartu Anak Nakal yang dinilai bagus oleh panitia, jiwa Bu Guru makin tersiksa. Dan Bu Guru juga ikut merasakan manfaat obeng sederhana Gun Woo.

Di situ letak titik baliknya.

Sebuah buku dengan kisah yang mungkin banyak terjadi dalam sistem pendidikan kita dengan berbagai versinya, dituturkan dengan apik oleh Hwang Sun Mi. Kisah ini tersusun dalam buku kecil dan tipis berjudul "Kartu Anak Nakal".

Hwang Sun Mi adalah seorang penulis asal Negeri Ginseng, Korea Selatan. Ia juga profesor di Institut Seni Seoul. Padahal ia pernah mengalami kesulitan mengecap pendidikan tingkat menengah akibat kemiskinan keluarganya.

Sejak 1995, ia telah menghasilkan sekitar 30 buku dalam berbagai genre. Salah satu karyanya yang amat terkenal adalah "The Hen Who Dreamed She Could Fly" . Karya ini telah dibuat menjadi film yang memecahkan rekor box office Korea untuk film animasi, dan menghasilkan hampir 7 miliar won dalam bulan pertama dirilis.

Kisah inspiratif masa sekolah telah mengantarnya ke dunia kepenulisan. Kepercayaan yang diberikan oleh seorang penjaga perpustakaan membawa keyakinan diri Sun Mi melonjak tinggi.

Pada masa sekolah dasar, secara tidak sengaja Sun Mi "menemukan" dan akhirnya mengakrabi sebuah lemari besar berisi banyak buku di sebuah koridor sekolah. Kegemarannya membaca tak membuat waktu mampu mengingatkannya. Hampir setiap hari ia menghabiskan waktunya melahap buku-buku koleksi perpuskaan itu hingga menjelang petang.

Mendapati hal itu, tanpa ragu seorang guru yang bertanggung jawab atas keberadaan lemari buku memercayakan serangkaian kunci lemari dan ruangan kepadanya. Sebuah momen penting dalam hidup Sun Mi yang kelak menggiringnya menggeluti dunia kata-kata.

Stempel Pembawa Petaka

Merujuk pada pendapat beberapa psikolog anak dan ahli parenting, stempel atau labelisasi yang buruk pada anak-anak cenderung akan merusak mental sang anak. Perasaan rendah diri akan menempel pada anak-anak yang sering diberi label buruk oleh lingkungannya, baik di lingkungan rumah, sekolah maupun lingkungan lainnya.

Irawati Istadi, seorang penulis buku-buku parenting dan pegiat berbagai aktivitas berkenaan dengan dunia pendidikan dan parenting, mengkhawatirkan kecenderungan orangtua yang lebih banyak memberikan perhatian terhadap hal-hal negatif yang dilakukan anak-anak. Orangtua tipe ini cepat sekali bereaksi ketika anak membanting pintu, menumpahkan minuman, terlambat mandi, dan hal-hal lain yang dipandang negatif.

Mereka lupa memberikan perhatian positif saat anak berbuat baik. Anak-anak yang melakukan aktivitas positif seperti mandi tepat waktu, membuang sampah pada tempatnya dan semacamnya tak mendapatkan pujian, ciuman atau pelukan dari orangtuanya.

Dalam buku "The Secret of Enlightening Parenting" misalnya, Okina Fitriani bahkan mengatakan bahwa label bernada positif semacam "anak hebat" pun bisa memberikan dampak negatif bagi si penerima label. Menurut Psikolog itu, pelabelan semacam itu mendorong anak menjadi sombong, terlalu fokus pada haknya serta suka menyalahkan orang lain.

Apa yang terjadi pada diri Lee Gun Woo, bisa terjadi pada anak-anak lainnya. Begitu pun dengan Bu Guru.

Referensi:

  • "Kartu Anak Nakal", Hwang Sun Mi, DAR! Mizan, Bandung
  • "Mendidik dengan Cinta", Irawati Istadi, Pustaka Inti, Bekasi
  • "The Secret of Enlightening Parenting", Okina Fitriani, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta
  • Hwang_Sun-mi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun