Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kiprah Pemandu Wisata Pemula di Hutan Kalaena

21 November 2018   16:48 Diperbarui: 21 November 2018   16:48 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepasang mata bulat berwarna kuning itu nanar menatapku. Cakar hitam panjang pada keempat kakinya erat mencengkeram dahan pohon beberapa langkah di hadapanku. Apakah ia marah? Aku menghentikan langkah.

Sepertinya ini Kuskus, dan melihat penampilan fisiknya, jenis Kuskus Beruang. Bila benar, aku sedang berhadapan dengan sesosok satwa vulnerable alias sangat langka. Sebuah kejutan besar bisa berada sedekat ini dengan binatang arboreal yang biasanya berdiam di pohon-pohon ratusan meter tingginya.

Pertemuanku dengan Kuskus tidak kusengaja. Saat itu aku mendengar teriakan Anggi. Begitu kuhampiri, ia meringis karena kakinya terkilir. Gara-gara kehadiran mamalia endemik Sulawesi itu, Anggi tidak fokus. Kaki pelancong ibukota itu menginjak batuan licin.

***

Cagar alam Kalaena sepertinya akan menyajikan kesan mendalam bagi awal karirku sebagai pemandu wisata. Ini kali pertama aku memasuki hutan konservasi di Kabupaten Luwu Timur ini.

Setelah seharian menyusuri hutan, kami kembali ke penginapan. Minibus tahun 90-an yang mengangkut kami cukup kesulitan melintasi tanah berbatu. Ia terbatuk-batuk hampir tiap setengah jam. Ditambah Pak Her yang berusia setengah abad sebagai pengemudinya, lengkaplah perjalanan berat kami.

Baru empat kilometer terlewati, mendadak mobil berhenti. Asap mengepul dari kap depan. Kutatap wajah Pak Her yang mulai keriput itu terlihat semakin tua. Ia membalas tatapanku dan mengangkat kedua tangannya.

Terdengar suara mendesis. Pak Her beranjak ke depan mobil dan membuka kapnya sembari mengibas-ngibaskan lengannya mengusir asap yang terus menguar.

"Selang radiator bocor," kata Pak Her mengabarkan kondisi mobil tuanya.

Dalam mobil, Kevin mulai kesulitan bernafas. Mbak Prita dan Mas Lukman berusaha menenangkan anak mereka. Sesuai cerita yang kudapatkan dalam perjalanan tadi, anak berusia delapan tahun itu telah menderita asma sejak balita. Mas Lukman mengambil cuti beberapa hari untuk ikut perjalanan sebagai terapi.

Pak Fred tampak melompat turun dari mobil dan segera hilang dari pandanganku. Mungkin akan mengubek-ubek tanaman mencari daun aneh atau akar tak lazim. Lelaki seusia ayahku itu adalah seorang ahli biologi yang gemar menapaki hutan. Keanekaragaman hayati hutan Kalaena mengusik minat pengagum Alfred Wallace ini untuk menyusurinya.

Cagar alam seluas 90 ribu hektar ini menyimpan kekayaan alam yang mengagumkan. Hutan ini memiliki beberapa jenis fauna langka seperti Kuskus, Boti, Bluwok dan Biawak. Di sana juga terdapat banyak macam tanaman yang jarang ditemukan di lokasi lain seperti Uru, Ponto, Jabin, Pude dan lainnya.

Peserta terheboh tentu saja Anggi. Mahasiswi penggila medsos ini ditemani adik angkatannya, Kanaya, yang fobia terhadap alam liar dan kegelapan. Persahabatanlah satu-satunya alasan Kanaya berada di tempat ini. Namun, mobil yang mogok mengubah keceriaan Kanaya menjadi pendiam dan gampang panik.

Dalam situasi yang menegangkan, Anggi tetap sibuk dengan kameranya. Bahkan suasana mencekam dijadikannya obyek liputan. Ia merekam wajah putus asa Pak Her, kesibukan Mbak Prita merawat Kevin, termasuk Kanaya yang selalu menyalakan senter dari ponselnya meskipun baterai tinggal bersisa 10%.

"Aduh!" Mendadak terdengar teriakan Anggi dari balik rerimbunan perdu. Aku berlari ke arahnya. Anggi terduduk mengernyih sembari memegangi pergelangan kaki kirinya.

"Aku tergelincir, Mas," katanya lirih. "Gara-gara itu!" Ia menunjuk ke atas pohon. Saat kutengadah, tampak Kuskus dengan mata yang terus mengawasi kami. Itulah mula pertemuanku dengan si Kuskus.

kompas.com
kompas.com
***

Arloji di tanganku mengabarkan, sekarang sudah jam 17.45. Lima belas menit berlalu dan kami belum merencanakan apa pun.

Aku mengulik daftar kontak di ponselku, mencari kenalan yang bermukim di sekitar hutan ini. Kutemukan nama Pak Has, penjaga hutan, dan Yus, teman lamaku yang tinggal di kota kecamatan. Alhamdulillah, mereka bersedia menolong. Pak Has sudah hafal setiap jengkal wilayah ini sehingga tidak kesulitan memahami petunjukku. Sementara itu, untuk Yus, aku akan minta bantuan Mbak Prita, satu-satunya anggota rombongan yang bisa mengakses internet, untuk share location.

Kami bergegas menemui rombongan. Kulihat Mas Lukman sibuk menenangkan orang-orang. Aku mengajak semua orang membicarakan jalan keluar atas masalah ini. Selepas membuka diskusi, aku menceritakan hasil perbincanganku dengan Pak Has dan Yus, sekalian minta bantuan Mbak Prita.

"Mohon masukan, apa yang harus kita lakukan," kataku mencoba melibatkan semua anggota rombongan.

"Kita harus membagi tim," ujar Mas Lukman gembira mendapatkan kesempatan bicara, "Siapa yang berangkat ke kota, siapa ke pondok dan siapa yang tinggal di sini."

"Berikutnya, dari mana dapat selang," kata Mas Lukman melanjutkan, "hari gini kayaknya bengkel dan toko tutup."

"Maaf," Pak Her menyela, "Sebagai orang beragama, sebaiknya kita berdoa mohon diberi kemudahan."

Kami tersentak. Mohon ampun, ya Allah, kami hampir melupakanMu. Kami pun memanjatkan doa sesuai keyakinan masing-masing.

Usai berdoa, aku melanjutkan. "Dalam 15 menit, Pak Has akan datang naik motor. Satu orang bisa ikut ke pondok."

Kami memutuskan Kanaya ikut Pak Has untuk meredakan kepanikannya.

Di tengah diskusi, lamat-lamat terdengar suara peluit dari balik rerimbunan tanaman sekira 50 meter dari lokasi rombongan. Aku hendak melompat, tetapi ada tangan mencengkeram pundakku.

"Biar aku saja! Aku bisa menggunakan senter di hapeku. Baterainya masih banyak." Ternyata Mas Lukman yang mencegahku. Tanpa menunggu jawabanku, ia bergegas melangkahkan kakinya sembari menyorotkan sinar senter ke arah gerumbul yang bergoyang.

Tak lama kemudian, Mas Lukman telah kembali menghampiri kami. Di belakangnya menyusul sosok lelaki tua dengan tubuh tinggi dan janggut pirang. Pak Fred.

Dengan campuran bahasa Inggris dan "bahasa Tarzan", Pak Fred menceritakan kisahnya. Rupanya setelah BAB, ia terkesan dengan beberapa binatang yang belum pernah ditemuinya. Ia mengikuti gerak mereka melompat dari satu pohon ke pohon lain hingga cukup jauh dari posisi rombongan. Untung "peralatan tempur" Pak Fred terbilang lengkap untuk memandunya kembali ke dekat rombongan.

Kami melanjutkan diskusi dan mengambil kesepakatan untuk memberangkatkan Mbak Prita, Kevin dan Anggi ikut Yus sekira dua jam lagi. Mbak Prita harus menjaga Kevin. Sementara Anggi perlu istirahat untuk memulihkan kakinya yang bengkak.

"Kita buat api," kata Pak Fred dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata. Pengalamannya berkali-kali mengunjungi hutan di nusantara ini mengajarinya sedikit pengetahuan bahasa Indonesia.

Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari ranselnya. Saat dibuka, terlihat beberapa perkakas seperti pisau lipat, kompas, cermin kecil, korek api, dan bahkan jarum dan benang jahit. Ia mencomot pisau lipat dan korek api.

Isyarat tangannya mengajak kami mengumpulkan ranting untuk bahan api unggun. Pak Her dan aku mengikuti langkah Pak Fred. Aku memberi kode agar Mas Lukman tinggal bersama rombongan guna menjaga wanita dan anak-anak.

Cahaya api yang kami buat menerangi muka Anggi yang meringis menahan sakit. Tangannya mengurut pergelangan kaki yang terkilir. Pak Fred merogoh ranselnya dan mengeluarkan sebuah kotak berwarna putih dengan logo palang merah kecil. Ia menyodorkan sebotol cairan kepada Anggi dan memintanya segera mengoleskan cairan itu ke kakinya.

"Itu ada plester. Bisa dipakai untuk menambal selang karburator!" Sekonyong-konyong Pak Her berteriak dengan telunjuk mengacung ke arah  kotak obat Pak Fred.

"Ini kabar gembira!" Mas Lukman yang duduk persis di samping kiriku berteriak lantang. "Selang diplester, karburator diisi air, mungkin mobil bisa jalan!"

"Mas Pur, tolong minta Pak Penjaga bawa air!" ujar Mas Lukman kepadaku. Segera kutelpon Pak Has yang baru beberapa meter melaju.

***

Setengah jam kemudian, muncullah Pak Has mengendarai motor lawasnya. Sesuai permintaanku, ia membawa air dalam jeriken kecil.

Mengingat gelap semakin pekat, Pak Has bergegas menggenjot motornya kembali ke pondok dengan membawa serta Kanaya. Tanpa diminta, Anggi menyorongkan sejumlah coklat kepada sahabatnya. Mereka berpelukan sebelum Pak Has menekan tuas gas.

***

Pak Her bergerak cepat menambal selang karburator dan menuang air ke dalamnya. Tiga kali ia mencoba men-starter mobilnya, tetapi tidak berhasil. Muka yang belepotan jelaga itu semakin kusam. Kami memutuskan untuk beristirahat. Kata Pak Her, plesternya tak kuat. Ya tentu saja, itu kan plester untuk kulit.

Saat itu sudah pukul 19.15 wita. Aku merasa lapar karena gemuruh suara perutku memberitahukannya. Aku yakin, semua orang di sini juga kelaparan. Masalahnya, bekal makanan tinggal dua pak nasi kotak sisa makan siang tadi. Kami kembali ke "meja perundingan" untuk membagi makanan.

Kevin bisa makan snack yang dibawa Mbak Prita. Anggi masih menyimpan coklat. Dua pak nasi kotak dimakan berempat, aku berbagi dengan Pak Her dan Mas Lukman makan sekotak berdua dengan Mbak Prita. Bagaimana dengan Pak Fred? Di ranselnya tersimpan ransum khas petualang, entah apa namanya. Untuk sementara, perut kami cukup terganjal dan tak lagi berisik.

Belum lama kami meluruskan kaki sembari mendengar "ceramah politik" Mas Lukman, terdengar deru mobil mendekat. Kami menyambut gembira kedatangan Yus. Yus segera mengeluarkan sebuah tas kain yang cukup besar dari dalam mobilnya. Ia menawarkan beberapa botol minuman dan kami senang menerimanya. Terakhir, ia menyorongkan segulung selotape hitam kepadaku. Aku terperanjat tak mengerti.

"Mbak Prita yang bilang waktu ngasih posisi," kata Yus memahami keherananku. "Katanya kalian butuh barang ini untuk menambal selang karburator."

Pak Her amat ceria menerima gulungan itu. Baginya, benda itu lebih berharga dibandingkan emas permata.

Yus segera kembali ke kota membawa Anggi, Mbak Prita dan Kevin.

Sepeninggal Yus, kami berusaha memperbaiki karburator. Maksudku, Pak Her yang memperbaikinya, sedangkan aku dan Mas Lukman menyaksikan orang tua itu bekerja sambil berkomentar seakan-akan paham apa yang dilakukannya.

Alhamdulillah, kali ini "plester" yang dibawa Yus cukup kuat menahan tekanan. Mesin minibus tua itu pun kembali menderu. Kami meningkahinya dengan sorak gembira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun