Saat itu sudah pukul 19.15 wita. Aku merasa lapar karena gemuruh suara perutku memberitahukannya. Aku yakin, semua orang di sini juga kelaparan. Masalahnya, bekal makanan tinggal dua pak nasi kotak sisa makan siang tadi. Kami kembali ke "meja perundingan" untuk membagi makanan.
Kevin bisa makan snack yang dibawa Mbak Prita. Anggi masih menyimpan coklat. Dua pak nasi kotak dimakan berempat, aku berbagi dengan Pak Her dan Mas Lukman makan sekotak berdua dengan Mbak Prita. Bagaimana dengan Pak Fred? Di ranselnya tersimpan ransum khas petualang, entah apa namanya. Untuk sementara, perut kami cukup terganjal dan tak lagi berisik.
Belum lama kami meluruskan kaki sembari mendengar "ceramah politik" Mas Lukman, terdengar deru mobil mendekat. Kami menyambut gembira kedatangan Yus. Yus segera mengeluarkan sebuah tas kain yang cukup besar dari dalam mobilnya. Ia menawarkan beberapa botol minuman dan kami senang menerimanya. Terakhir, ia menyorongkan segulung selotape hitam kepadaku. Aku terperanjat tak mengerti.
"Mbak Prita yang bilang waktu ngasih posisi," kata Yus memahami keherananku. "Katanya kalian butuh barang ini untuk menambal selang karburator."
Pak Her amat ceria menerima gulungan itu. Baginya, benda itu lebih berharga dibandingkan emas permata.
Yus segera kembali ke kota membawa Anggi, Mbak Prita dan Kevin.
Sepeninggal Yus, kami berusaha memperbaiki karburator. Maksudku, Pak Her yang memperbaikinya, sedangkan aku dan Mas Lukman menyaksikan orang tua itu bekerja sambil berkomentar seakan-akan paham apa yang dilakukannya.
Alhamdulillah, kali ini "plester" yang dibawa Yus cukup kuat menahan tekanan. Mesin minibus tua itu pun kembali menderu. Kami meningkahinya dengan sorak gembira.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H