Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari ranselnya. Saat dibuka, terlihat beberapa perkakas seperti pisau lipat, kompas, cermin kecil, korek api, dan bahkan jarum dan benang jahit. Ia mencomot pisau lipat dan korek api.
Isyarat tangannya mengajak kami mengumpulkan ranting untuk bahan api unggun. Pak Her dan aku mengikuti langkah Pak Fred. Aku memberi kode agar Mas Lukman tinggal bersama rombongan guna menjaga wanita dan anak-anak.
Cahaya api yang kami buat menerangi muka Anggi yang meringis menahan sakit. Tangannya mengurut pergelangan kaki yang terkilir. Pak Fred merogoh ranselnya dan mengeluarkan sebuah kotak berwarna putih dengan logo palang merah kecil. Ia menyodorkan sebotol cairan kepada Anggi dan memintanya segera mengoleskan cairan itu ke kakinya.
"Itu ada plester. Bisa dipakai untuk menambal selang karburator!" Sekonyong-konyong Pak Her berteriak dengan telunjuk mengacung ke arah  kotak obat Pak Fred.
"Ini kabar gembira!" Mas Lukman yang duduk persis di samping kiriku berteriak lantang. "Selang diplester, karburator diisi air, mungkin mobil bisa jalan!"
"Mas Pur, tolong minta Pak Penjaga bawa air!" ujar Mas Lukman kepadaku. Segera kutelpon Pak Has yang baru beberapa meter melaju.
***
Setengah jam kemudian, muncullah Pak Has mengendarai motor lawasnya. Sesuai permintaanku, ia membawa air dalam jeriken kecil.
Mengingat gelap semakin pekat, Pak Has bergegas menggenjot motornya kembali ke pondok dengan membawa serta Kanaya. Tanpa diminta, Anggi menyorongkan sejumlah coklat kepada sahabatnya. Mereka berpelukan sebelum Pak Has menekan tuas gas.
***
Pak Her bergerak cepat menambal selang karburator dan menuang air ke dalamnya. Tiga kali ia mencoba men-starter mobilnya, tetapi tidak berhasil. Muka yang belepotan jelaga itu semakin kusam. Kami memutuskan untuk beristirahat. Kata Pak Her, plesternya tak kuat. Ya tentu saja, itu kan plester untuk kulit.