Less is more.
Ada seorang kawan yang baru saja pindah rumah. Alasannya dia pindah, dari cluster Virginia Village, karena rumah yang ditempatinya terlalu kecil.
Cluster Virginia Village mengusung konsep minimalis. Rumah-rumah yang ada disini ukurannya mini, yaitu 6 x 8 m, 5 x 8 m, dan 4 x 8 m.
Saat pertama kali pindah ke rumah ini, saya agak kaget. Ruang gerak di dalam rumah benar-benar terbatas. Dan naluri saya mengirimkan sinyal bahaya.
Ruang gerak yang terbatas dapat menyebabkan penghuni rumah menjadi malas. Bisa itu malas bergerak, atau malas merapikan rumah.
Untuk menyiasati keterbatasan ruang gerak, saya dan putri kecil berinisiatif untuk jalan kaki setiap pagi dan sore. Atau bermain-main di ruang hijau publik.
Untungnya, 4 tahun lalu, Virginia Village masih memiliki lahan hijau yang luas. Saat ini pun, masih ada Private Jungle dan Club House yang tetap hijau. Dan saya sangat bersyukur untuk ruang hijau publik ini, tempat dimana saya dapat terpekur untuk menghilangkan penat.
Sejak 2 tahun lalu, putri kecil memulai debutnya sebagai enterpreneur. Dia memilih pekerjaan sebagai dog walker, dan kami mendapatkan berkat yang luar biasa dari usahanya ini. Kami dapat bergerak, setiap pagi dan sore, sekaligus mendapatkan penghasilan.
Sedangkan, gerak badan yang berhubungan dengan kebersihan, saya membebankan kegiatan membersihkan rumah pada putri kecil. Dengan mempertimbangkan jika ukuran rumah kecil dan tidak terlalu membebankan putri kecil. Alasan lainnya, untuk melatih dia mengembangkan kemampuan-kemampuannya.
Sekarang saya sadari, ternyata rumah minimalis baik sebagai medan latihan parenting.
***
Rumah minimalis sulit diisi sembarang furnitur. Jika pemilik rumah ingin bergaya maksimalis, akibatnya semakin sempit ruang gerak dan semakin sulit membersihkan rumah.
Selama 4 tahun di Virginia Village, saya 3 kali membeli furnitur, 1 kali menerima limpahan furnitur dari teman, dan 1 kali mendapatkan alat elektronik yang memakan tempat cukup besar. Rumah ini sudah penuh sesak.
Ketika saya memperoleh 1 set peralatan masak, ini jadi bahan pemikiran yang belum terselesaikan hingga saat ini. Sebab, dapur rumah minimalis amat minim luasnya.
Umumnya, rumah minimalis memfungsikan lantai dasar sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, sekaligus dapur. Begitu pun rumah 4 x 8 m, yang saya tempati ini.
Di dapur yang ukurannya sekitar 80 x 100 cm, saya memasak dengan penanak nasi. Mungkin cara ini belum lazim, namun tingkat keamanannya tinggi.
Menu-menu yang dapat dimasak dengan penanak nasi cukup beragam. Hanya saja, karena saya memilih gaya hidup minimalis, maka dalam hal bumbu-bumbuan pun saya menerapkan bumbu yang minimal.
Dengan iklim tropis, suhu rata-rata 31C, dan banyaknya debu, badan saya dan putri kecil agak sensitif dengan bumbu dapur yang bersifat panas. Juga goreng-gorengan, deep fry, yang mudah menyebabkan radang tenggorokan.
Sehingga, saya memilih memasak rebus-rebusan, atau sup-supan. Sesekali kami makan gorengan ataupun kripik-kripikan, untuk memuaskan keinginan lidah.
Selain itu, saya menerapkan peniadaan MSG saat memasak di rumah. Sedangkan untuk makanan yang kami pesan dari GoFood ataupun Grab Food, mau tidak mau kami terima MSG.
MSG dan makanan ringan gurih komersial adalah 2 hal yang tidak terpisahkan. Maka, saya membatasi putri kecil untuk mengkonsumsi makanan ringan ataupun mie instan.
Minimalis dalam hal makan memang agak membosankan. Tapi, selama kebutuhan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan susu terpenuhi, saya berusaha makan untuk kebutuhan bukan untuk nafsu.
***
Masalah busana, saya juga menerapkan gaya minimalis. Daripada membeli pakaian baru, saya lebih suka mencari baju-baju bekas layak pakai dari kerabat atau teman-teman yang hidupnya berkelimpahan.
Begitupun mainan untuk putri kecil. Saya jarang sekali membeli mainan, dan hanya membeli mainan edukasi. Selebihnya, putri kecil mendapatkan limpahan mainan dari orang lain.
Gaya hidup minimalis sudah 9 tahun saya terapkan. Dan selama 9 tahun ini, hidup minimalis kami ada perubahan, seiring dengan evaluasi hasil trial and error. Yang bagus kami pertahankan, dan yang kurang sehat kami ganti.
Awalnya, gaya hidup ini terbentuk karena desakan ekonomi. Kami kurang beruntung, dan perekonomian buruk. Namun, setelah keadaan membaik, saya mempertahankan gaya hidup ini.
Satu hal yang saya pelajari dari hidup, dunia menyuguhkan berbagai macam pilihan dan harga yang harus saya bayar untuk pilihan itu. Cara saya memilih hingga membuat suatu keputusan, itu akan setara dengan pengorbanan yang akan dituntut pada saya.
(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H