Rumah minimalis sulit diisi sembarang furnitur. Jika pemilik rumah ingin bergaya maksimalis, akibatnya semakin sempit ruang gerak dan semakin sulit membersihkan rumah.
Selama 4 tahun di Virginia Village, saya 3 kali membeli furnitur, 1 kali menerima limpahan furnitur dari teman, dan 1 kali mendapatkan alat elektronik yang memakan tempat cukup besar. Rumah ini sudah penuh sesak.
Ketika saya memperoleh 1 set peralatan masak, ini jadi bahan pemikiran yang belum terselesaikan hingga saat ini. Sebab, dapur rumah minimalis amat minim luasnya.
Umumnya, rumah minimalis memfungsikan lantai dasar sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, sekaligus dapur. Begitu pun rumah 4 x 8 m, yang saya tempati ini.
Di dapur yang ukurannya sekitar 80 x 100 cm, saya memasak dengan penanak nasi. Mungkin cara ini belum lazim, namun tingkat keamanannya tinggi.
Menu-menu yang dapat dimasak dengan penanak nasi cukup beragam. Hanya saja, karena saya memilih gaya hidup minimalis, maka dalam hal bumbu-bumbuan pun saya menerapkan bumbu yang minimal.
Dengan iklim tropis, suhu rata-rata 31C, dan banyaknya debu, badan saya dan putri kecil agak sensitif dengan bumbu dapur yang bersifat panas. Juga goreng-gorengan, deep fry, yang mudah menyebabkan radang tenggorokan.
Sehingga, saya memilih memasak rebus-rebusan, atau sup-supan. Sesekali kami makan gorengan ataupun kripik-kripikan, untuk memuaskan keinginan lidah.
Selain itu, saya menerapkan peniadaan MSG saat memasak di rumah. Sedangkan untuk makanan yang kami pesan dari GoFood ataupun Grab Food, mau tidak mau kami terima MSG.
MSG dan makanan ringan gurih komersial adalah 2 hal yang tidak terpisahkan. Maka, saya membatasi putri kecil untuk mengkonsumsi makanan ringan ataupun mie instan.
Minimalis dalam hal makan memang agak membosankan. Tapi, selama kebutuhan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan susu terpenuhi, saya berusaha makan untuk kebutuhan bukan untuk nafsu.